Puasa yang Keren

Published by

on

Saya main futsal setiap Senin dan Kamis, bukan sebagai ganti puasa Senin-Kamis, melainkan hari itulah yang cocok dengan jadwal teman-teman untuk main futsal. Tak banyak gunanya main futsal sendirian, bukan? Nah, teman-teman futsal saya ini kebanyakan anak-anak sekolah menengah, alias diskrepansi (wow istilahnya, red.) usianya lebih dari dua dekade. Bisa dibayangkan bagaimana saya keteteran (tergopoh-gopoh) mengimbangi speed mereka, belum lagi keterampilan individual dan kolektif mereka. Akan tetapi, saya tak pernah minder karena saya hampir selalu mencetak gol… beberapa di antaranya pasti karena mereka mengerti bahwa saya sudah tua, jadi kasihlah bikin gol biar gak kapok jadi pupuk bawang.

Baru minggu belakangan ini saya ngeh soal identitas mereka. Anak-anak itu tinggal di asrama Katolik dan di asrama itu mereka sekaligus kerja praktik tukang (kayu, mesin, bangunan). Pagi sampai siang mereka pergi ke sekolah, dan sepulang sekolah, jika tak ada kegiatan ekstrakurikuler, mereka bekerja di asrama. Mestinya melelahkan.

Minggu lalu ada satu anak yang biasanya ikut bermain futsal ternyata tak datang baik pada hari Senin maupun Kamis. Saya tanya mengapa dan temannya menjawab bahwa dia puasa. Oh oh oh, baru tahu saya bahwa anak itu Islam (kira’in yang di asrama itu Katolik semuanya, wong lembaga Katolik. Eh, ternyata ada juga yang Islam). Alasannya untuk tidak main futsal pun masuk akal. Kalau berpuasa itu ya okelah bekerja seperti biasa… tapi kalau berpuasa malah main futsal mah istilah Jawanya golek memala (atau kira-kira ya cari perkara deh). Jadi, bahwa anak itu absen selama sebulan pun menurut saya wajar.

Ada perubahan yang saya amati belakangan ini,  yaitu permainan futsal anak-anak tak sedahsyat minggu-minggu sebelumnya. Akurasi tembakan, speed dan kerja sama tim mereka tak berjalan mulus. Memang hanya satu dua yang tak seperti biasanya. Seusai futsal, saya tawari mereka minum, tetapi salah satu dari mereka tertawa dan menjawab,”Saya puasa, Romo.” Alamak! Malulah saya, pertama-tama karena selama ini saya benar-benar tidak ngeh bahwa anak ini juga Islam. Lagi-lagi, saya kira dia Katolik. Akan tetapi, saya tidak menampakkan rasa malu itu karena yang dominan justru rasa kagum saya: dia puasa dan toh tetap main futsal!!!

Ini puasa yang keren! Anak itu seolah sudah menemukan jalannya: do what you do! Dia tidak ngurusin warung-warung yang tetap buka (mosok warung dibikin kurus, emangnya rekening?) atau orang yang minta dihormati karena berpuasa. Ia berpikir soal menjalankan ibadah puasa, titik. Pikiran-pikiran lainnya datang dari setan atau roh jahat! Das ist ja klar!

Para pengkotbah mungkin menekankan bahwa inti puasa adalah pengendalian diri, tetapi saya tidak melihat anak itu sedang mengendalikan dirinya saat mengatakan,”Saya puasa, Romo.” Saya kira anak itu sadar bahwa ia haus, tahu bahwa saya gak ngeh bahwa dia puasa, dan toh tetap berpegang pada komitmen puasanya. Tidak ada yang ia kendalikan. Ia tidak sedang menunggu detik-detik berbuka puasa. Yang ada dalam benaknya adalah bermain futsal dan setelah itu istirahat. Fokusnya tidak terletak pada bagaimana menahan haus. Haus adalah kondisinya dan dalam kondisi itu ia menanggapi kenyataan yang terpampang di depannya.

Kalau begitu, inti puasa bukanlah pengendalian diri, melainkan pengenalan diri. Dari pengenalan diri itulah orang bisa mengenal Allah yang diimaninya. Kok isa?

Orang itu kelihatan aslinya jika dia dalam kondisi sulit. Orang kenyang bisa berfilsafat, bisa berkotbah muluk-muluk, bisa berteori macam-macam mengenai moralitas, bisa menulis posting di blognya. Jika kelaparannya memuncak, bisa jadi ia melanggar sendiri teori yang dibuatnya sewaktu kenyang! Orang yang biasanya tenang dan halus tiba-tiba berubah jadi menyalak galak semata karena kecapekan; atau orang yang alim tiba-tiba bisa berkata kasar pada saat antre memesan makanan. Katanya, orang yang berpuasa seharusnya mengendalikan rasa marah atau nafsu lain, misalnya.

Mengendalikan diri lebih dekat konotasinya dengan menahan diri dan tolok ukurnya adalah hasil yang sudah dituangkan dalam aturan: tidak makan-minum, marah-marah sebelum jam buka puasa, misalnya. Ini adalah model berpuasa dengan metode ngampet, seperti orang menahan pipis atau be’ol. Mengapa orang yang menahan emosi bisa tiba-tiba meledak? Karena tidak bisa mengendalikan diri! Betul, tetapi tidak menjawab akar persoalan. Ada proses yang hilang jika orang berpaku pada kriteria pengendalian diri: orang tak mengenali gerakan-gerakan lembut dalam dirinya. Gerakan lembut itu bisa berupa pikiran, perasaan, imajinasi, kehendak, lengkap dengan turunannya.

Andaikanlah saat berpuasa kita antre dan tiba-tiba orang menyerobot. Kalau orang tak mengenali dirinya, rasa perasaan jengkel itu tanpa melalui kesadaran langsung terwujud dalam makian. Pengenalan diri lebih dekat dengan kesadaran (silakan baca buku Saat Tuhan Tiada jika berminat memahami soal ini). Orang sadar bahwa dalam dirinya muncul perasaan, memberi momen untuk berpikir dan memilih tindakan tertentu. Pada momen inilah orang bisa mendengarkan suara hati dan Sabda Allah sendiri. Orang mengenali panggilan Allah dan kecenderungan diri. Misalnya, ia sadar bahwa Allah mengasihi orang yang sabar, tetapi ia mungkin protes dengan rasionalisasi bahwa kesabaran itu ada batasnya.

Andaikanlah protes itu lebih keras daripada ‘bisikan Tuhan’: ia marah dan membentak. Apakah puasanya batal?
Mari lihat dua kemungkinan. Pertama, sesaat orang itu membentak dan sadar bahwa ia telah marah, ia mengerti bahwa ia lemah, dikendalikan oleh perasaan, dan karena itu ia tafakur dan mohon ampunan Tuhan. Di situ ia sadar akan kelemahan dirinya dan membangun relasi dengan Tuhan dengan mohon ampun. Berarti, ada proses mengenali diri dan mengenali Allah.
Kedua, sesaat orang itu membentak dan marah-marah terus sampai jam buka puasa, ia mengerti bahwa ia telah batal puasa dan semakin menyalahkan orang lain yang memprovokasinya, yang membuka warung, yang terang-terangan makan di depannya, dan sebagainya. Pokoknya, sampai buka puasa pun ia masih kecewa karena puasanya batal dan menyalahkan pihak lain sebagai penyebab puasanya batal. Ia tidak juga mengerti bahwa yang mengambil keputusan untuk marah adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Alias, ia tidak mengenali dirinya, apalagi mengenali Allah!

Jika orang memakai tolok ukur pengendalian diri, baik orang pertama maupun orang kedua ya batal puasanya: wong tak bisa mengendalikan diri sedangkan aturannya pada waktu puasa orang tak boleh marah. Jika orang memakai tolok ukur pengenalan diri, orang pertama tadi justru memperoleh makna yang dimaksudkan oleh puasa: ia semakin dekat dengan Allah betapapun dirinya rapuh.

Loh, kalau begitu, apa gunanya aturan dong (jika orang bisa sesukanya menentukan waktu buka puasa, misalnya)? Ya memberi koridor, bukan pistol untuk nge-dor orang! Kalau paradigma puasanya adalah pengenalan diri, orang akhirnya ngerti bahwa ia tak bisa terus menerus berkubang dalam kerapuhannya. Puasa sungguh bisa jadi jalan untuk mengenali diri dan menjalin relasi pribadi dengan Tuhan, bukan sekadar kuat-kuatan menahan lapar, haus, atau emosi. Itulah puasa yang keren dan pastinya berlaku untuk semua umat beriman.

2 responses to “Puasa yang Keren”

  1. […] Menariknya, Yesus menanggapi pertanyaan itu dengan perbandingan, dengan analogi dalam rumus pertanyaan: lucu gak orang diundang pesta mantenan dan saat mempelainya tiba tamu undangan itu malah berduka cita (dan berpuasa)? Kalau mempelai itu tak ada lagi bersama mereka, barulah mereka puasa, gak ada pesta lagi. Ini merujuk pada kematian Yesus sendiri. Artinya, selama Yesus berada bersama para muridnya, mereka benar-benar mengalami suka cita yang tak perlu dibumbui dengan praktik puasa. Puasa tak bisa diperlakukan semata sebagai kewajiban. […]

    Like

  2. […] Paska dalam tradisi Gereja Katolik kan berada di ujung masa pantang dan puasa 40 hari (puasa wajibnya sih cuma 2 hari), seperti Idul Fitri juga di akhir masa puasa umat Islam. Jadi, letak simpulnya ada pada Paska Yahudi tadi yang disinggung dalam bacaan pertama hari ini. Kalau mau gothak-gathuk ya kira-kira bisa dimengerti begini: Paska Yahudi adalah pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir menuju tanah terjanji. Tanah terjanji itu tak perlu lagi dipahami sebagai wilayah geografis-politik, melainkan kenyataan dalam diri manusia: rohnya. Anda adalah tanah terjanji itu, tetapi Anda baru jadi tanah terjanji hanya jika Anda mengumpulkan aneka ilah dan membuangnya, jika Anda tidak membiarkan diri jadi idol atau ilah itu sendiri, jika Anda kembali pada jati diri sebagai makhluk Allah, anak-anak Allah. Proses itulah yang ditempuh oleh umat Islam dan Katolik dengan pantang dan puasa. […]

    Like