Siapa Sakit Jiwa?

Published by

on

Beberapa hari lalu seorang ibu balita mengunggah rekaman CCTV pada kamar bayinya yang menunjukkan kekerasan babysitter terhadap anak balitanya. Seperti biasa, tidak di dunia maya, tidak di dunia nyata, podho wae, muncul hakim dadakan yang mencela babysitter itu, bahkan konon ibu balita itu sendiri dalam akun medsosnya menyebut babysitter itu ‘sakit jiwa’. Mungkin ibu itu, dan kita yang membaca beritanya, lupa bahwa predikat yang dilekatkan kepada babysitter itu adalah predikat untuk diri sendiri juga: yang memperlakukan orang sebagai barang (eh, gue pake’ babysitter lu ye, berapa duit?), yang gak sungguh-sungguh membangun relasi pribadi (pasang aja CCTV jadi ntar kalo ada apa-apa bisa ketahuan, dan setelah bayinya bonyok barulah njerit-njerit), yang mau terima enaknya dan berusaha memperingan tanggung jawab sendiri (anak gue cakep kan? Lu urusin anak gue ya, gue mau kerja dulu, gak mau tau dia rewelnya gimana, pokoknya lu gak boleh kasar sama anak gue).

Romo membela babysitter dan menyalahkan ibu balitanya ya? Enggak, kita semua punya andil dalam tragedi kehidupan ini, Bro‘; jadi, mendingan mawas diri ajalah. Dua orang itu punya tanggung jawab merawat anak, tetapi jelas tanggung jawab terbesar ada pada ibunya. Bisa jadi ini memang satu-satunya kesempatan ketika ibu balita itu meninggalkan bayinya pada saat istirahat, dan biasanya dia sendiri yang selalu menidurkan anaknya. Ya itu, musibah, yang juga bisa dimengerti (bukan berarti toleransi terhadap tindak kekerasan): babysitter-nya punya sikap dasar “bukan anak gue sendiri”, sedang labil karena menstruasi, merasa tertekan, dan sebagainya. Kalau saya sih gampang aja mengertinya karena pengalaman menangani anak-anak cacat ganda yang punya aneka macam karakter: melelahkan, menguras energi, dan kemungkinan terburuk bisa saja terjadi.

Njuk apa hubungannya je dengan Pesta Maria Mengunjungi Elisabet dalam liturgi Gereja Katolik?

Hidup kita ini adalah sebuah perjalanan dalam kemuliaan Allah (ciyeh…), dalam misteri-Nya yang terkuak perlahan-lahan. Maria mengidungkan pujian ‘jiwaku memuliakan Tuhan’ persis karena ia menyadari Misteri yang sedang menguakkan diri itu. Kalau Anda pendaki dan sekali waktu punya modal dan waktu untuk pergi ke Le Dolomiti di Italia (pegunungan Alpen begitulah kira-kira), sumonggo membuktikannya sendiri: ketika kita mendaki bukit, kita mengira di balik bukit itu tak ada apa-apa, begitu sampai puncak bukit, ternyata di sana ada puncak lagi dengan pemandangan yang menakjubkan, begitu seterusnya sehingga kalau kita penggemar hiking, kegembiraan kita seolah tiada habisnya karena senantiasa ada ‘misteri’ yang dikuak dari satu puncak ke puncak yang lain.

Jiwa yang memuliakan Tuhan itu bisa juga berduka sih. Kata yang sama (ψυχή) dipakai Injil Matius untuk melukiskan kesedihan jiwa Yesus: seperti mau mati rasanya. Akan tetapi, roh (konon dalam terjemahan Ibrani adalah bagian ‘atas’ dari jiwa) tidak memakai kategori suka-duka. Entah suka, entah duka, roh senantiasa menggerakkan orang untuk menguak kemuliaan Allah. Lha, kalau rohnya ini disumbat terus, akhirnya ya orang jadi mbleret, disorientasi, hidup tanpa gairah, tak punya konsep tanggung jawab, muales-nya pol, dan selalu saja menemukan kambing hitam untuk melarikan diri.

Tuhan, semoga aku semakin transparan terhadap roh dalam batin sehingga jiwaku senantiasa memuliakan-Mu. Amin.


PESTA SP MARIA MENGUNJUNGI ELISABET
(Selasa Biasa IX)
31 Mei 2016

Zef 3,14-18
Luk 1,39-56

Posting Tahun 2014: Per Mariam ad Iesum