From Heart with Love

Published by

on

Seorang siswa yang mulai ketagihan merokok di sekolahnya meminta izin gurunya untuk ke belakang, tetapi rupanya ia pergi ke ruangan lain dan merokok di sana. Ruangan ini jarang dikunjungi guru maupun murid karena memang ini kamar karyawan yang mengurusi gudang buku. dan dia cukup pren alias akrab dengan karyawan itu. Dia sedang tidak di tempat, dan kamar itu gelap karena lampu dimatikan saat karyawan tak di kamarnya. Siswa ini klêmpas klêmpus keasyikan menghisap dan menghembuskan asap rokoknya, sampai tiba-tiba seorang guru membuka pintu dan menyalakan lampu.

Tentu saja kamar menjadi terang benderang dan terlihatlah oleh guru itu sang murid baru saja menghembuskan asap rokoknya. “Kamu ngrokok ya?!”
Si murid mengulangi pertanyaan sang guru dan menjawabnya,”NgrokokEnggak, Pak!”
Keduanya menatap puntung rokok di sela-sela jemari si murid ini….

Terang memang tak memberi tempat pada kegelapan dan siapa yang tersengat terang, hidupnya berubah. Ini dijabarkan dalam kisah bacaan ketiga hari ini tentang kesembuhan orang yang buta sejak lahir. Apakah peristiwa ini memang terjadi? Saya ragu-ragu karena tidak ada paralelnya dengan Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas). Tulisan Yohanes memang sangat simbolik, termasuk juga dalam bacaan yang dikutip hari ini. Simbol yang dipakainya antara lain ialah tanah yang diaduk dengan ludahnya untuk menyembuhkan orang yang buta sejak lahir itu.

Tanah bisa langsung terasosiasikan dengan kisah penciptaan manusia yang juga akrab dengan gelap-terang, petang-pagi. Penciptaan tidak terjadi karena inisiatif manusia. Demikian juga penyembuhan orang buta sejak lahir ini. Tidak ada permintaan dari pihak si buta atau keluarga atau orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian, proses penciptaan itu memang masih terjadi sekarang ini dan di sini, bukan cuma mitos dalam Kitab Kejadian. Bagaimana penciptaan itu terjadi atau dimungkinkan terjadinya?

Menurut bacaan kedua, itu dimungkinkan oleh terang yang meresapi manusia, yang memancarkan cahaya ilahi. Tapi gimana sih tuh memancarkan cahaya ilahi? 

Mari kembali ke ilustrasi awal tulisan ini. Lampu yang dinyalakan itu membuat kamar gelap jadi terang benderang dan di situ si siswa dan guru bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Pertanyaan sang guru jelas dan faktanya juga jelas bahwa si siswa merokok dan di tangannya pun ada sebatang rokok yang masih menyala dan masih ada asap yang dihembuskan. Akan tetapi, jawaban si siswa tidak berasal dari hati. Ia memberikan jawaban dari rasionalisasinya, dari rasa takutnya, dari kekhawatirannya, dari egonya, dari kesombongannya, dari kesembronoannya.

Menurut bacaan pertama, Allah memandang hati orang, bukan penampakan, bukan status, keahlian, kekuatan, posisi, jabatan, dan sebagainya. Andaikan saja manusia memakai cara pandang Allah ini, seandainya saja orang berangkat dari hati, kiranya ia akan bertobat dan penglihatannya pun pulih. Ia takkan dikuasai oleh ambisi kekuasaan, kemenangan, gengsi dan lain-lainnya. Dalam segala pilihan yang muncul dari hati Allah itu, ia memancarkan cahaya ilahi dan itu membahagiakan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.

Ya Tuhan, bantulah kami untuk senantiasa memakai hati-Mu untuk memandang hidup ini. Amin.  


MINGGU PRAPASKA IV A/1
26 Maret 2017

1Sam 16,1.6-7.10-13
Ef 5,8-14
Yoh 9,1-41

Minggu Prapaska IV C/2: Agama Intoleran
Minggu Prapaska IV B/1: Allah yang Rentan
Minggu Prapaska IV A/2: The Primacy of the Heart
*

2 responses to “From Heart with Love”

  1. Rediningrum Setyarini Avatar

    oooohhh…. rupanya “kaca mata item” yang menutupi pandangan seseorang itu berasal dari keaslian dirinya sendiri ya, mencoba merasionalisasikan alasan, maksud, tujuan, motif sebenarnya… kirain gara-gara “kambing item”.

    Like

    1. romasety Avatar

      kambing item itu cuma simtom kaca mata itemnya….

      Like