Jerat Cinta

Published by

on

Siapa di zaman ini yang percaya bahwa Allah datang untuk menyelamatkan lebih daripada menghakimi? Secara teoretis, sedikit sekali orang yang punya kepercayaan seperti itu karena sudah sejak kecil orang dicekoki dengan aneka evaluasi penilaian moral. Konsep benar-salah, baik-buruk menjadi santapan sehari-hari dan reward-punishment jadi lauk pauknya. Seseorang pernah membagikan ceritanya bagaimana ia kehilangan gairah untuk memeluk agama karena di situ disodorkan penghakiman, pengadilan terakhir, dengan gambaran neraka yang mengerikan. Masuk akal: ngapain juga menghidupi dunia yang penuh dengan ancaman mengerikan? Apa agama sudah kehilangan cara untuk memanifestasikan janji Allah yang meleremkan hati?

Bacaan pertama hari ini mengisahkan perjalanan hidup seorang anak manusia, yang meninggalkan kemapanannya, yang bergerak lantaran janji Allah. Nama anak manusia itu adalah Abra(ha)m. Dia sedang merealisasikan gambaran Allah yang menjanjikan keselamatan, bukan Allah yang menghakimi. Menariknya, keselamatan Allah itu mengisyaratkan Abra(ha)m berpindah dari satu tempat ke tempat lain; meninggalkan wilayah yang satu menuju wilayah lainnya. Move onmove on, dan move on [termasuk kalau mesti menjalani persidangan, eaaaa].

Dalam dunia yang dominan dengan kriteria penilaian moral memang tidak gampang bergerak dari paham Allah sebagai hakim menuju paham Allah sebagai penyelamat. Orang cenderung mereduksi keselamatan itu melulu dalam ranah moral: negara damai sentosa makmur bernyiur melambai, zero terrorism, warganya kaya raya dan tak ada kesenjangan sosial. Apalagi, didukung pengertian bahwa semakin rohani semakin insani atau bahkan semakin material, orang bisa gagal fokus dan cuma melihat sisi materialnya.

Bacaan kedua memberi insight yang melegakan: kalau penilaianmu cuma dari sisi material, kamu cuma akan terjerat problem dalam dirimu sendiri. Manakah dari celaanmu terhadap orang lain yang tak berlaku bagi dirimu sendiri? Selagi kamu masih hidup dalam dunia material ini, tak ada kritik yang lepas dari dirimu juga. Cuma satu yang membebaskan: ketika kamu memandang dunia dengan cinta yang menyelamatkan, bukan cinta yang menghakimi. Apa mau dikata, cinta yang menyelamatkan itu menggerakkan orang seperti Abra(ha)m untuk meninggalkan tempat yang satu ke tempat yang lain; tiada tempat untuk kelekatan, selain kepada janji Allah sendiri.

Berat juga ya memanifestasikan pandangan cinta yang menyelamatkan (daripada benci yang menghakimi). Memang sulit, kalau gampang aja mah dunia dah kiamat dari dulu, berubah jadi nirwana seperti disodorkan Buddhisme. Jadi? Pé èr-nya perlu dikerjakan: memahami cinta Allah yang menyelamatkan, bukan cuma waton kritik sana-sini untuk menghancurkan pihak lain dan memuliakan diri sendiri. Cinta sejati memang jadi sumber selamat, yang tidak sejati cuma jadi jerat.

Ya Allah, mohon rahmat supaya kami dapat melihat dunia dengan cara-Mu memandang dunia ini. Amin.


Senin Biasa XII A/1
26 Juni 2017

Kej 12,1-9
Mat 7,1-5

Senin Biasa XII C/1 2016: Sabar Ya Bu’
Senin Biasa XII B/2 2015: Ayo Main Hakim Sendiri! *
Senin Biasa XII A/1 2014: Mengkritik Bukan Menghakimi

2 responses to “Jerat Cinta”

  1. hpi Avatar
    hpi

    halo romo

    apakah dengan ajaran awal “reward – punishment” bisa membuka hati utk mencintai yang ilahi? apakah orang pada tahap “mencintai ilahi” moralnya tentu baik? mungkin sya salah dalam pemahaman dapatkah romo memberi tanggapan ? trmakasih

    Like

    1. romasety Avatar

      Halo Om, seturut tahap perkembangan iman, tentu saja ajaran awal bernuansa reward-punishment bisa dikembangkan. Orang yang menghidupi cinta ilahi belum tentu moralnya baik; Nabi Isa, misalnya, moralnya tak sejalan dengan moral kebanyakan orang yang legalis, formalis, atau yang pedomannya mata ganti mata itu. Bergantung tolok ukur moral yang dipakai ya.

      Like

Previous Post
Next Post