Rahasia Cinta

Published by

on

Kata dosen saya, menikahi orang yang kita cintai itu mainstream, sudah biasa. Mencintai orang yang kita nikahi itu kasih karunia (tidak gampang, bukan, mencintai orang yang sudah-terlanjur-kita nikahi?). Gak salah dong kalau saya bertanya,”Kalau mencintai orang yang tidak kita nikahi itu apa, Pak?” Tahukah Anda jawabannya? Tentu tidak, kecuali Anda adalah beliau, atau saya dan teman-teman lain yang kemarin mendengar jawabannya. Jawabannya itulah yang saya pakai untuk membaca narasi teks hari ini.

Ceritanya tiga murid diajak Guru dari Nazareth naik gunung purba #ehkokjadiNglanggeran… dan di sana mereka mendapat penampakan Sang Guru yang ngobrol-ngobrol dengan Musa dan Elia. Petrus terpukaw ketakutan dan tak mengerti mesti berbuat apa lalu waton omong,”Kami dirikan tiga kemah saja ya?” Kemah merujuk sifat nomaden dan kesementaraan, tetapi juga ketertutupan yang terbuka #halahpiyejal! 😂
Guru berpesan supaya mereka tidak menceritakan apa yang mereka lihat itu sebelum Guru mereka mati dan bangkit. Apakah itu berarti mereka diminta menutup-nutupi peristiwa itu atau merahasiakan peristiwa spektakuler itu?

Tidak bercerita tidaklah sama dengan menutup-nutupi cerita. Orang perlu juga mempertimbangkan perspektif waktu. Ia tidak meminta para muridnya untuk merahasiakan peristiwanya, melainkan meminta supaya mereka terlebih dahulu menyadari arti peristiwanya bagi kehidupan mereka sendiri, tidak malah tenggelam dalam euforia, dan salah satu peranti untuk pemaknaan itu adalah peristiwa kebangkitan. Tanpa proses pemaknaan itu, mereka  jatuh pada sloganisme, omong besar dan mbelgedhes.

Ambillah contoh mereka yang berkoar-koar bahwa Allah itu adalah kasih atau Allah sungguh mahabesar. Memang benar bahwa Allah itu kasih dan mahabesar, tetapi kalau itu dikatakan oleh orang-orang seperti tiga murid itu segera setelah penampakan di pucuk gunung itu, omongan mereka cuma mitra nggedebus alias hoaks, bukan karena Allah bukan kasih dan tidak mahabesar, melainkan karena penuturnya cuma waton muni (wah teman saya nongol lagi) di bawah kepak sayap spiritualitas kerumunan. Supaya tidak waton muni, orang mesti melakukan refleksi, apropriasi, internalisasi, pembatinan, menghubungkan ‘Allah adalah kasih’ atau ‘Allah mahabesar’ dengan pengalaman hidupnya sendiri dulu.

Teks hari ini adalah sambungan cerita sebelumnya mengenai identitas yang ditanyakan Guru dari Nazareth. Yang ia tanyakan bukan identitas menurut kata orang, melainkan seturut pengalaman eksistensial orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap orang beriman mesti menjawab apa artinya “Allah adalah kasih” atau “Allah mahabesar” dengan pengalaman autentiknya masing-masing. Andaikan orang cuma menangkap kasih sebagai kalkulasi jual-beli atau pengeluaran-penerimaan, barangkali “Allah adalah kasih” itu hanya dimaknai sebagai bisnis yang menguntungkannya: Ia memberiku banyak peluang, usaha, kesuksesan, kemakmuran, dan sejenisnya. Akan tetapi, hanya itukah arti kasih?

Menurut filsuf eksistensialis Søren Kierkegaard, kasih adalah sebuah tindakan. Maka, kasih Allah bukan cuma fakta batiniah, melainkan juga tindakan cinta yang merangkum keseluruhan hidupnya. Ah, filsafat…
Pokoknya, langkahi dulu mayat internalisasi atau pembatinan sebelum orang dengan berapi-api meneriakkan cinta dan kebesaran Allah.
Njuk tadi jawaban dosennya apa je, Rom? Hmm…. rahasia dulu deh.

Ya Allah, mohon rahmat untuk menanamkan cinta-Mu dalam hati dan mengaktualkannya supaya kami tak jatuh pada mentalitas kerumunan yang begitu yakin dengan aktualisasi cinta-Mu tapi tak pernah punya waktu untuk menanamkannya terlebih dahulu. Amin.


SABTU BIASA VI C/1
Peringatan Wajib S. Polikarpus
23 Februari 2019

Ibr 11,1-7
Mrk 9,2-13

Posting Tahun A/1 2017: Pemimpin Kok Bunglon

2 responses to “Rahasia Cinta”

  1. hpi Avatar
    hpi

    Halo Romo

    “inti moralitas adalah CINTA”
    (Robert Spaemann)

    Ah.. filsafat hehehehe….😁

    Salam

    Like

    1. romasety Avatar

      Hahahaha…. cinta melulu ya

      Like

Previous Post
Next Post