Sakit Bahagia

Published by

on

Kesalahkaprahan adalah salah satu contoh solusi yang kurang memicu inspirasi. Seperti kata orang, what is taken for granted will eventually be taken away. Mau dapat inspirasi apa Anda dari “menanak nasi”?
Lah, emangnya juga Romo mau dapat inspirasi apa dari “menanak beras”?
Oh iya ya, vanity… Yang penting kan orang tahu maksudnya, persoalan terpecahkan.
Solutip, kan, Rom?😂
Betul, tapi tidak inspiratif.🤭
Halah balik lagi!

Iya saya mau balik lagi ke kesalahkaprahan, juga dalam terjemahan teks bacaan hari ini. Di situ dikatakan bahwa Guru dari Nazareth berkata kepada seorang perempuan yang sudah 18 tahun kerasukan roh sehingga jadi bungkuk punggungnya. Apa yang dikatakannya? “Hai Ibu, penyakitmu telah sembuh.” Aneh gak sih? Yang sakit siapa, yang sembuh siapa?
Anda tentu tahu maksudnya, yaitu bahwa ibu itu telah sembuh dari sakit.

Akan tetapi, Guru dari Nazareth rupanya tidak mengatakan,”Kamu telah sembuh dari penyakitmu” [apalagi “penyakitmu sudah sembuh”!]. Kata kerja yang dipakai di situ sebetulnya berkenaan dengan kebebasan, kemerdekaan, atau pelepasan. Maksudnya, orang terbebas dari jerat penyakit. Ini bukan perkara bahwa orang itu secara medis sembuh, melainkan bahwa orang itu tak lagi terkungkung oleh penyakitnya. Jasmaninya mungkin masih dihinggapi penyakit, tetapi mentalnya bebas.

Ini diperkuat dengan konteks kisah itu sendiri yang terhubung dengan tradisi hukum Sabat Yahudi. Kepala rumah ibadat sangat gusar karena Guru dari Nazareth melakukan penyembuhan pada hari ketika orang beragama semestinya libur dari kerja dan menyucikannya untuk ibadat. Ada paralel antara wanita yang terkungkung oleh roh selama 18 tahun dan kepala rumah ibadat yang terkungkung oleh konsep agama yang melulu legalistik. Dengan begitu, kebebasan, kelepasan, atau detachment lebih revelan daripada kesembuhannya sendiri. Barangkali lebih tepat lagi dikatakan bahwa kebebasan atau detachment ini memberi kondisi bagi keutuhan hidup orang, termasuk kesembuhannya.

Jarang saya jumpai orang yang menderita sakit menunjukkan kemerdekaannya; apalagi sakit hati, lebih tak merdeka lagi.🤭
Pengalaman ya, Rom?
Ho’oh🤣
Mengikuti lima fase penerimaan kematian yang dibahas Elizabeth Kubler-Ross, lebih banyak orang berkubang dalam tiga fase pertama (tak mau terima, marah-marah, coba cari cara untuk tawar menawar) sehingga malah jadi depresi karena sakitnya. Runyam kan, sudah sakit jasmaninya gak sembuh-sembuh, tambah lagi jiwanya tak merdeka? Orang macam begini tak mengerti bahwa hidup ini adalah kesia-siaan tanpa koneksinya dengan Sang Pemberi Kehidupan.

Dengan demikian, makna kisah penyembuhan oleh Guru dari Nazareth dalam teks bacaan hari ini malah lebih dalam jika ditangkap sebagai kisah pembebasan manusia dari keterkungkungan jiwanya terhadap aneka kekuatan vanity. Pernah saya singgung contohnya dalam posting Ritual Challenge. Orang mengalami mukjizat bukan pertama-tama karena masalah hukum biologisnya (sakit) diintervensi oleh Allah sendiri sehingga sembuh dari sakit, melainkan karena perspektif hidup orang berubah. Dunianya sama, kacamatanya berubah.

Sembari mengapresiasi mereka yang bertahan dalam sakit kronis dan terminal, saya berdoa bagi siapa saja yang sakit supaya kebahagiaan hidupnya muncul dari ketulusan cinta akan Allah sendiri, alih-alih semata dari keharusan atau slogan untuk berbahagia.
Tuhan, mohon kemerdekaan batin supaya kami tak tertawan aneka hukum yang dapat mengungkung jiwa kami.
Amin.


SENIN BIASA XXX A/2
26 Oktober 2020

Ef 4,32-5,8
Luk 13,10-17

Senin Biasa XXX B/2 2018: Jembatan Gratis
Senin Biasa XXX C/2 2016: Semua Karena Cinta?
Senin Biasa XXX A/2 2014: Kebahagiaan Tanpa Objek

One response to “Sakit Bahagia”

  1. boulevardindi Avatar

    Jd ingat Tiwal dn Tiwul. Yg satu sakit bahagia, satunya lg bahagia😂 the question is not, Do you hv a problem? The question is, Does the problem have you? Salam sehat, Rm, n jgn lupa bahagia😽

    Like

Previous Post
Next Post