Tema sakit dan kematian boleh jadi berita dominan pada hari-hari belakangan ini. Narasi Kitab Suci hari ini juga merujuk pada tema yang sama, tetapi menawarkan alternatif suatu ending yang berbeda. Kisah utamanya sederhana. Anak perempuan kepala rumah ibadat, Yairus, sakit dan sekarat. Tentu saja, Yairus ini tahu betul bahwa kematian adalah takdir bagi semua makhluk hidup. Akan tetapi, dia rupanya mencium kondisi bahwa ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh Guru dari Nazareth. Maka, pergilah ia kepada Guru dari Nazareth dan minta bantuannya.
Bantuan itu tercicil dalam kisah satellitenya: perempuan yang mengalami pendarahan akut. Kehilangan darah, dalam kultur Semitik, adalah kehilangan kehidupan. Ini tidak hanya merujuk pada perempuan yang mengalami pendarahan itu, tetapi juga pada setiap makhluk sejak menerima hidup biologisnya di dunia ini. Sebagian orang berupaya mencari cara untuk memperpanjang umur, mengalokasikan dana luar biasa, mengembangkan sains medis, memperbaiki gen atau mempercanggih teknik cloning atau bahkan menciptakan robot manusia [padahal tak perlu susah-susah juga sudah banyak orang jadi robot🤭]. Akan tetapi, tak satu pun dari upaya itu yang dapat menyangkal bahwa manusia, entah cepat atau lambat, toh bakal kehilangan hidup-(biologis)nya.
Jadi, apa cicilan bantuannya? Bisa dilihat dari dialog antara perempuan sakit pendarahan dan Guru dari Nazareth. Si perempuan menanamkan keyakinan begini: “Asal kujamah saja jubahnya, aku akan SELAMAT.” Sang Guru dari Nazareth mengatakan yang sama: “Imanmu telah meNYELAMATkan engkau, pergilah dalam DAMAI dan terbebaskanlah engkau dari penderitaanmu.” Apa daya, terjemahannya tampak ambil jalan pintas yang gampang: “Asal kujamah jubahnya, aku akan sembuh.” Lama kelamaan, orang beragama menyamakan keselamatan dengan kesembuhan dan dengan begitu, kematian menjadi takdir yang melulu mengundang duka, kesedihan, atau kemurungan.
Guru dari Nazareth memandang kematian secara berbeda. Ia meminta mereka yang memerankan ritual tangisan duka keluar dari ruangan dan hanya mengajak kedua orang tua anak yang mati itu seakan-akan untuk menegaskan bahwa orang tua yang memberi hidup biologis itu tak berdaya di hadapan takdir yang merenggut anaknya. Ia juga mengajak murid-muridnya masuk seakan-akan sebagai saksi terhadap apa yang dilakukannya terhadap takdir hidup biologis itu.
Apa toh yang diperbuatnya? Memegang anak perempuan yang disebutnya tidur itu, membangunkannya sehingga hidup biologis anak itu kembali, meminta supaya ia diberi makan selayaknya tubuh biologis membutuhkannya. Begitulah kiranya jika dikatakan bahwa Guru dari Nazareth ini mengalahkan kematian: tak perlu ribet dan risau dengan takdir hidup biologis, jangan pula menganggap hidup biologis segala-galanya sehingga orang malah berusaha mati-matian mempertahankannya, menghindari kematian. Pada batas hidup biologis itu, sepantasnyalah orang menumbuhkan iman, harapan dan cintanya kepada Allah.
Hidup biologis ini menjadi penting sebagai medium pemberian diri, sebagai petunjuk hidup dari Allah sendiri. Ini pasti bukan hidup yang tak peduli protokol kesehatan (biologis), melainkan hidup yang memang didedikasikan bagi cinta yang memberi nyawa bagi yang lain. Di masa positif negatif tes bisa begitu dinamis, tatapan orang beriman selayaknya tetap: bagaimana supaya hidupnya mencerminkan cinta Allah pada kemanusiaan.
Tuhan, mohon rahmat supaya iman kami kepada-Mu senantiasa bertumbuh dalam harapan dan cinta. Amin.
HARI MINGGU BIASA XIII B/1
27 Juni 2021
Keb 1,13-15;2,23-24
2Kor 8,7.9.13-15
Mrk 5,21-43
Posting 2015: Life-Giving Touch
Categories: Daily Reflection