SOS¹

Selalu lebih sulit mempertobatkan orang yang (merasa diri) benar daripada orang yang (merasa diri) berdosa. Salah satu contohnya ditunjukkan dalam kisah Yunus yang diminta mempertobatkan orang-orang Niniwe (Irak?), yang dianggap  banyak melakukan kejahatan. Yunus semula enggan, dan malah menolak, tetapi akhirnya sampai juga di Niniwe dan menyerukan supaya orang-orang Niniwe itu bertobat. Ujung-ujungnya, orang-orang Niniwe itu menuruti seruan Yunus, tetapi Yunusnya sendiri malah tidak senang. Begitulah SOS¹: senang orang (lain) susah, susah orang (lain) senang.

Apakah semangat SOS¹ itu eksklusif milik Yunus? Tentu tidak. Cobalah lihat orang-orang beragama sejak zaman baheula sampai sekarang, kalau bukan lihat diri kita sendiri: berapa banyak dari mereka yang, entah secara pribadi atau berkelompok, berusaha mempertobatkan orang lain yang dianggapnya sesat atau berdosa? Kepada mereka ini orang-orang beragama tadi hendak menunjukkan betapa hidup mereka sesat sehingga mereka perlu bertobat.

Sikap Guru dari Nazareth sangat berbeda dari Yunus dan dari orang-orang beragama seperti itu. Tentu bukan perkara bahwa beliau toleran pada kejahatan, melainkan bahwa bagi beliau, kejahatan dan dosa itu bukan semata ranah moral. Artinya, pertobatan itu bukan semata soal mengikuti aturan (agama) yang dirumuskan oleh manusia sendiri. Pertobatan mesti dicari akarnya pada ranah yang lebih dalam, dan ranah itu ialah paham Allah, gambaran Allah. Itu pentingnya rumus ‘tiada tuhan selain Allah’. Orang beriman perlu terus menerus mencari paham Allah yang sungguh mengantarnya pada kebahagiaan sejati, bukan malah mempertuhankan mamon, politik, teks, bahkan agama.

Tidak mengherankan, Guru dari Nazareth menyampaikan wacananya bukan kepada para pendosa, melainkan kepada mereka yang hidupnya sudah mengikuti aturan agama. Silakan simak teksnya. Kelihatan bahwa Guru dari Nazareth tidak berpretensi mempertobatkan pendosa. Beliau mau mengoreksi orang-orang ‘benar’. Koreksi itu tidak disampaikannya dengan argumentasi, tetapi melalui perumpamaan, metafora, narasi. Kenapa? Karena, kalau orang menganggap dirinya benar, mana mau dianggap salah, kan? Sebagian mungkin bisa diajak berdiskusi ketika nalarnya masih normal; tetapi kalau sudah terkontaminasi dengan attachment, wacana rasional tak banyak membantu.

Narasi mengundang orang, disadari atau tidak, untuk mengambil keberpihakan terhadap tokoh tertentu dalam narasi.  Orang itu sendiri akan mengoreksi gagasannya jika tidak klop dengan keberpihakannya. Guru dari Nazareth dengan jeli memanfaatkan perumpamaan yang sangat persuasif: apa kalian ini tidak mencari domba yang sesat dan membiarkan yang baik-baik saja tetap aman? Apa kalian tak gembira saat menemukan yang sesat itu? Apa kalian tak senang ketika berhasil menemukan milik yang hilang? Allah itu kira-kira ya seperti itu: gembira jika orang bertobat. Konon Charles Péguy, penulis Prancis, menulis La conversion d’un homme est l’accomplissement d’une espérance de Dieu yang kira-kira berarti The conversion of a man is the fulfillment of a hope of God

Dengan begitu, Guru dari Nazareth menyodorkan gambaran Allah yang bisa jadi acuan bagi orang-orang beragama. Perumpamaan itu ditujukannya bukan kepada para pendosa, melainkan orang-orang Farisi dan ahli Kitab Suci yang bersungut-sungut karena Sang Guru menerima pendosa. Paham Allah mereka ini, yang adalah representasi kita juga, tampak jauh dari kerahiman sehingga kalau pun mereka keukeuh bertuhan, tuhannya tak sinkron dengan Allah sebagaimana digambarkan Guru dari Nazareth: Allah yang dengan kerahimannya mengharapkan kebahagiaan manusia yang sesungguhnya, bukan kebahagiaan yang ‘seolah-olah’.

Tuhan, semoga hidup kami sungguh klop dengan kerahiman dan cinta-Mu bagi seluruh makhluk. Amin.


KAMIS BIASA XXXI B/1
PW S. Carolus Borromeus
4 November 2021

Rm 14,7-12
Luk 15,1-10

Kamis Biasa XXXI C/1 2019: Temannya Gundala
Kamis Biasa XXXI B/2 2018: You Are Precious
Kamis Biasa XXXI C/2 2016: Muter-muter Yuk
Kamis Biasa XXXI B/1 2015: Allah Jaga Jarak
Kamis Biasa XXXI A/2 2014: Untung Rugi, Aku Tahu