Menurut salah satu komentar dalam thread “Komlit KAS: Masih Katolik Romakah Anda?” pada forum website ekaristi.org, tulisan berjudul “EKM: Emangnya Kamu Misa?” mendapat jawaban dari Komisi Liturgi KAS. Setelah saya coba baca baik-baik, kok tampaknya saya tidak mengajukan pertanyaan kepada Komlit KAS dan Komlit KAS juga, dengan demikian, tidak menyodorkan jawaban. Yang saya tahu hanya bahwa dengan nama Komlit KAS telah dipublikasikan posting yang memakai judul posting saya. Memang akhiran ‘nya’ pada kataĀ emang dihilangkan, tetapi prinsipnya sama. Tak apa, dalam hal ini saya gak rempong dengan hak intelektual (tulisan berjudul Revolusi Mental pun bisa dibuat oleh Jokowi dan Romo Benny Susetyo bahkan dalam waktu relatif bersamaan).
Sebetulnya nada tulisan saya mirip dengan tulisan admin (entah siapapun namanya) Komlit KAS itu: jangan serampangan dengan Ekaristi. Hanya saja, titik tolak admin adalah tata liturgi, sedangkan titik tolak saya adalah spiritualitas. Perbedaan titik tolak tentu tidak otomatis berarti bertentangan dalam isi. Saya juga tidak berpikir bahwa saya mempertahankan posisi tertentu (liberal ataupun konservatif: justru dua posisi itu dibutuhkan supaya ketaatan orang menjadi kreatif sejauh gak meleset sasarannya), pun masalah liturgi bagi saya bukan masalah pelik. Sama seperti soal selibat imam Gereja Katolik Roma yang sudah lama dipersoalkan. Itu bukan masalah pelik. Orang-orangnya saja yang pelik.
Setahu saya, EKM di Kotabaru sudah diadakan sejak awal milenium ini, juga EKR (Ekaristi Kaum Remaja) dan EKA (EKaristi Anak). Ada juga sebetulnya Ekaristi untuk para lansia dan Ekaristi kelompok kharismatik. Saya pernah menjadi pastor pembantu di sana selama setahun dan kurang lebih saya menangkap keprihatinan pastoralnya. EKM tidak pernah dibuat dengan ide spontan begitu saja. Tim penyelenggara biasanya sudah menyiapkan segalanya seturut jadwal: berapa bulan sebelumnya harus menentukan tema, memilih bacaan dan mungkin visualisasinya, merumuskan doa-doa umat, dan sebagainya.
Nah, agaknya proses ini kurang mendapat perhatian dari mereka yang hendak menyelenggarakan EKM di tempat lain sehingga terkesan asal ada drama lantas bisa disebut EKM. Maklum, titik tolaknya dari luar, dari hasil yang kelihatan, tetapi tidak melihat dinamika proses penyelenggaraannya. Rasa saya, mendampingi EKM ini sangat tidak mudah. Kenyataannya mungkin sekarang ini juga kurang pendampingan.
Saya kira EKM ini perlu diberi perhatian dari berbagai pihak demi pendampingan iman kaum muda sendiri. Pendampingan ini tentu tak bisa hanya mengandalkan pendekatan tata liturgi belaka. Kaum muda mesti diajak untuk menangkap motto Bapak Uskup Yohanes Pudjasumarta: duc in altum. Kaum muda dibantu supaya bebas dari kedangkalan iman yang bisa berwujud (1) serampangan asal nyeleweng dari tata liturgi atau sebaliknya (2) rubrik-minded. Pendamping semestinya justru membantu supaya kaum muda menemukan identitas terdalamnya sebagai murid Kristus dari Ekaristi tetapi juga mengungkapkannya dalam Ekaristi.
Saya terkesan pada sebuah perayaan Ekaristi di salah satu gereja di Roma. Ini misa biasa, bukan EKM, meskipun mayoritas yang hadir adalah anak muda. Misa biasa ini terasa ada nyawanya: semua petugas liturgi menjalankan perannya dengan baik sehingga Perayaan Ekaristi berjalan mengalir, sangat lancar, organis dan kor luar biasa (tak harus menunggu lektor jalan dari tempat duduk ke mimbar, tak harus menunggu petugas persembahan dari depan gereja ke altar, tak harus menunggu kor selesai menyanyikan bait ekstra), dan kok ndelalahnya ya imamnya enerjik. Satu jam selesai, dan kegembiraan umat tampak setelah misa usai juga.
Suasana Ekaristi yang menggigit seperti itu jelas tak mungkin muncul jika petugas tidak mengerti seluruh dinamika Perayaan Ekaristi. Akan tetapi, bahkan Perayaan Ekaristi seperti itu pun tidak inspiratif bagi orang yang perhatiannya hanya pada rubrik atau tata liturgi belaka (apalagi orang cuma pikir soal pakaian pantas, orang benar-benar harus berlutut, harus menerima Tubuh Kristus dengan lidah, pakai kerudung, menggunakan bahasa Latin, dan lain sebagainya).
Menurut saya, semua pihak yang mengambil peran liturgis dalam Perayaan Ekaristi pertama-tama perlu mengutamakan perambatan iman lebih daripada keseragaman tata liturgi. Ini tidak berarti penyelewengan tata liturgi, tetapi hendaknya tata liturgi tidak diperlakukan seolah-olah tata liturgi adalah segala-galanya bagi orang Katolik Roma! (Yang di Roma saja malah tidak segalak di Indonesia…)
No Comment