16 Rebong

Published by

on

Saya tak antusias dengan nasihat moral sehingga, sebisa mungkin, jika berkhotbah, saya hindari memberi nasihat moral. Akan tetapi, saya melanggarnya ketika sekitar dua bulan lalu, sebelum coblosan, saya menyampaikan pesan kepada umat supaya mulai menabung sekurang-kurangnya sampai akhir bulan Maret dan bagi yang punya uang dollar, tak perlu buru-buru merupiahkannya dulu.

Saya malu berkhotbah seperti itu, tetapi memang saya terpaksa menyampaikannya (none of my business apakah mereka menabung atau tidak) dan saya juga gak ngerti seberapa banyak uang dollar dimiliki pendengar saya. Apalah artinya kalau hanya punya seratus dollar; kurs jadi 18 ribu pun mungkin hanya dapat 300 ribu rupiah.
Akan tetapi, justru itulah yang bikin saya terhenyak:
 semakin banyak dollarnya, semakin signifikan keuntungan yang diperoleh dari anjloknya nilai rupiah.

Kalau Anda hanya punya seribu dollar, dengan pengandaian Anda membelinya 15 ribu per dollar, dan dollar melambung jadi 18 ribu rupiah, Anda punya ‘keuntungan’ tiga juta rupiah. Itu mungkin tidak begitu signifikan. Baru jika Anda punya simpanan dollar satu juta, keuntungan Anda dengan kenaikan dollar itu jadi signifikan: Anda mendapat margin 3 milyar rupiah! 

Akan tetapi, siapa atau apa sih yang bisa punya dollar sampai jutaan apalagi milyaran?

Pasti bukan Anda, hahaha, karena kalau Anda punya simpanan segitu banyaknya, ngapain juga Anda membaca tulisan ini? Buang waktu dan bikin sepet mata aja!
Selidik punya selidik, selain oligarki yang dollarnya ratusan juta atau milyaran, negaralah yang punya kemungkinan kekayaan seperti itu. Tengoklah berapa pendapatan negara dari ekspor, misalnya.

Negara lain tidak membeli barang ekspor dari Indonesia dengan nilai rupiah, tetapi dollar. Dengan kata lain, jika tahun ini ekspor bernilai 20 milyar dollar saja, selisih 500 rupiah pun sudah menghasilkan 10 trilyun rupiah, bukan? Kalau begitu, semakin rupiah anjlok di hadapan dollar atau dollar semakin perkasa, bukankah angka trilyun rupiahnya juga semakin besar? Iya gak sih?

Kalau betul begitu, karena APBN dihitung dalam rupiah, bukankah semakin kuat dollar, semakin dimungkinkan surplus APBNnya? Alhasil, siapa yang diuntungkan dengan menanjaknya dollar? Siapa yang dirugikan?
Pertanyaan itu tak bisa dijawab secara sederhana karena, tentu saja, soal untung-rugi dalam rentang waktu yang tak tentu ini siapa yang tahu? Bisa jadi kerugian di saat tertentu menjadi keuntungan di lain waktu dan, sebaliknya, keuntungan di saat lalu bisa jadi awal madesu alias masa depan suram.

Nah, apa iya orang beradab akan mengambil keputusan atau pilihan dengan pertimbangan untung rugi semata? Semestinya tidak, sih, tapi apa kenyataannya sesuai dengan yang semestinya? Jebulnya ya gak juga. Mungkin saja banyak pertimbangan di negeri ini, juga yang menyangkut hajat hidup orang banyak, diputuskan dengan alasan untung-rugi lebih daripada ideologi semacam keadilan (sosial) atau demokrasi sehingga segala-galanya diselesaikan dengan pendekatan pragmatis belaka.

Tak mengherankan (meskipun mungkin mencengangkan) bisa muncul aneka angka semacam 16 ribu (16%) atau 271 trilyun (58%).🤤Nah, paralel dengan nasihat rajin menabung, kalau Anda punya SBN alias Surat Berharga Negara, coba lihat kupon yang Anda punya kira-kira kalo dijual sekarang capital gainnya besar gak; kalau besar, Anda tidak akan dipersalahkan atau dituduh cari untung sendiri hanya karena menjualnya.

Dalam hal ini, saya tak bisa omong banyak. Saya percaya pada analis dan praktisi ekonomi: sebaiknya akui saja bahwa program bansos [apa pun labelnya] yang sekian lama berjalan dan calon wujud barunya dengan label gratis ke depan itu bukan langkah yang baik untuk mendongkrak kepercayaan pasar. Politik bisa culas, tapi bisa berakibat hilangnya trust di pasar global. Salah satu indikator melemahnya trust itu adalah angka 16 ribu yang dimulai beberapa hari lalu.

Saya teringat zaman dulu ada menteri yang ditugasi pemerintah untuk memberi penerangan kepada publik bahwa tata pemerintahan itu berjalan baik-baik saja, stabilitas politik mantabs, keuangan juga oke berkat seorang bapak yang dikenal sebagai bapak pembangunan. Lama-kelamaan, saya mengerti mengapa orang-orang kritis memberi pemaknaan yang tepat kepada namanya: Hari-hari omong kosong. Yes, yang diumumkannya ke publik selalu yang baik-baik, dan orang miskin dan bodoh akan menaruh trust kepadanya.

Angka 16 ribu bisa dipandang dari berbagi sudut, tetapi saya melihatnya sebagai melemahnya trust pasar; dan kalau saya boleh berpendapat, itu bukan perkara el nino atau kompleks perang Israel-Palestina, melainkan perkara status hukum di negeri ini yang tak bisa menjamin keadilan secara meyakinkan. Yang saya khawatirkan ialah itu merupakan cerminan dari sebagian besar rakyat yang tak ingin hukum mendapatkan supremasinya. Ini bukan cuma perkara bahwa ahli hukum tak terpilih sebagai wapres. Tak perlulah juga menyoroti MK, yang sedang mempertaruhkan nama baiknya apakah memihak kepentingan pragmatis atau ideologi demokrasi; cukup dimulai dari sampah, jalan raya, dan perkara-perkara ‘remeh’ lainnya di ruang publik: mimpi buruk menjelma manakala orang merasa dirinya sebagai pusat kepentingan; yang lain-lainnya hanyalah sampah tak berharga.

Di situ, bukan hanya hakim MK, melainkan juga Anda dan saya perlu mawas diri apakah hidup kita ini dilandaskan pada prinsip atau tarikan aneka kepentingan pragmatis, betapapun dimuliakannya kepentingan itu. Siapa tak terenyuh bahwa seorang ayah mengusahakan yang terbaik buat anak istrinya, tetapi keterenyuhan itu akan berubah seketika Anda mengerti bahwa usaha sang ayah mengabaikan prinsip.

Jangan-jangan, di balik 16 rebong [dari 13.900 di tahun 2019] itu ada prinsip-prinsip yang dilanggar; dan begitulah, jika politik tidak dibangun di atas prinsip, hancurnya kemanusiaan tinggal menunggu waktu; sedemikian hancurnya sehingga bahkan orang-orangnya tak menyadari kehancurannya dan hanya bisa melihat baik-baiknya saja dengan slogan positive thinking.

Previous Post
Next Post