Pemeriksaan Batin

FlowingWaterBagi kebanyakan orang, hidup ini spontan: ngalir ajalah seturut apa yang nanti muncul. Kalo aliran ini tersendat atau berhenti, hidup itu dianggap gagal, gak membahagiakan. Tak mengherankan, pemeriksaan batin yang dikenal sebagai examen (pemeriksaan) conscientiae (baca: konsiènsié, kira-kira berarti batin) dimengerti sebagai hidup selangkah lebih mundur, gak lagi spontan mengalir. Orang seperti ini gak setuju dengan klaim Sokrates bahwa hidup yang tak teruji tak layak dihidupi. Menurutnya, Roh itu spontan, maka apapun yang mengganggu spontanitas bukanlah Roh.

Akan tetapi, ia mungkin lupa bahwa spontanitas itu bisa baik tapi juga bisa buruk. Ada orang yang sangat cakap melontarkan komentar yang asik banget dan mungkin bisa jadi pusat perhatian, tetapi belum tentu komentarnya kondusif bagi hidup bersama. Bagi yang sungguh mau mencintai Tuhan, problemnya bukan soal spontan atau tidak, tapi gimana perasaan dan ungkapan spontan itu digerakkan oleh roh baik dan mengarah pada kebaikan yang dikehendaki Tuhan. Lha ini butuh latihan, gak ujug-ujug terampil, dan examen punya peran kunci dalam latihan itu.

Catatan2 Kecil Tapi Penting

  • Examen yang dimaksud di sini bukan examen of conscience (baca: konsyens, bukan konsaiens), melainkan examen of consciousness. Yang pertama itu adalah observasi terhadap suara hati, soal baik-buruk moral. Misalnya, salah gak ya aku tadi gak ngasih duit ke pengemis. Yang kedua adalah pemeriksaan kesadaran. Ini lebih terkait dengan gerakan batin: tadi aku lihat pengemis rada meragukan, kepikiran mau ambil receh di laci dashboard, tapi kok klakson tet tot tet tot dan ada suara ambulans di belakang.
  • Seperti pengakuan dosa, examen bukan cara penyempurnaan diri individual. Ini adalah soal penghayatan iman yang makin sensitif terhadap cara Roh yang khas dan unik untuk mendekati dan memanggil seseorang. Maka, examen tidak bisa dibuat dengan anggapan diri sebagai manusia seperti manusia pada umumnya. Orang perlu tahu dulu peran atau identitas panggilannya yang khas dan unik: sebagai mahasiswa kristen fakultas tertentu, sebagai perwira militer kristiani, sebagai menteri kristiani, guru kristen, ibu rumah tangga keluarga kristiani, suster tarekat tertentu, imam paroki, pekerja LSM, bupati kristiani, ketua RT kristiani, dan sebagainya. Kalau tidak spesifik seperti ini, examen tidak banyak membantu.
  • Examen juga merupakan doa, bukan sekadar refleksi, evaluasi yang berpusat pada diri sendiri (apalagi assessment untuk pengembangan kepribadian: aku masih perfeksionis, takut gagal, kurang PD melakukan pekerjaan berisiko tinggi. Untuk melakukan pengamatan seperti itu tentu tak perlu berdoa). Akan tetapi, tanpa refleksi atau evaluasi diri seperti itu, examen juga jadi superfisial, terlalu umum: pasrah kepada kebaikan Tuhan tetapi tidak persis melihat kebaikan Tuhan macam apa yang dialami seseorang. Pemeriksaan batin seharusnya dilihat dalam hubungannya dengan pembedaan roh sehari-hari.
  • Modal examen yang terpenting adalah hati penuh hikmat kebijaksanaan (dalam permusyawaratan perwakilan: ini untuk mereka yang jadi wakil rakyat, seharusnya), yang punya visi untuk menimbang perkara (1Raj 3,9-12). Tentu pada akhirnya examen tidak dimaksudkan sebagai langkah dua kali 5-15 menit dalam sehari, melainkan langkah setiap saat. Maka hati penuh hikmat untuk menimbang perkara ini mesti dimohon terus dari Allah. Pemeriksaan batin akhirnya tidak bisa hanya dibatasi dalam periode tertentu karena berkenaan dengan kesadaran orang. Untuk pemula memang dibutuhkan latihan dalam kurun waktu atau periode tertentu, tetapi lama-kelamaan examen itu semestinya berlangsung pada setiap momen.

Untuk pemula selalu ada waktu khusus yang perlu disisihkan dan mengambil ruang yang memungkinkan dirinya bisa melakukan pemeriksaan batin. Ia bisa duduk memejamkan mata, tapi bisa juga berbaring dengan memfokuskan pandangan pada titik tertentu, bisa juga bersandar pada dinding atau posisi apapun yang membuat ia bisa tenang melakukan observasi.

CoverExamen3_29_12--044-1Langkah Pemeriksaan Batin

  1. Doa mohon pencerahan dulu. Examen bukan cuma soal kemampuan daya ingat dan analisis terhadap apa yang terjadi pada hari tertentu. Ini adalah soal pencerahan yang dibimbing oleh Roh Kudus untuk masuk ke dalam hidup seseorang dan menjadi sensitif terhadap panggilan Allah dalam batin orang. Orang diajak masuk ke dalam misteri dirinya sebagai ciptaan Allah.
  2. Ucapan syukur. Semua orang di hadapan Penciptanya tidak memiliki apa-apa, tapi toh tetap diberi karunia, seberapapun besarnya.  Orang yang sungguh merasa diri sebagai makhluk ciptaan akan bisa mengapresiasi karunia terkecil sekalipun dan mensyukurinya. Pelan-pelan Tuhan akan membimbing orang untuk memahami bahwa semua yang diterimanya adalah karunia yang pantas disyukuri.
  3. Observasi praktis terhadap kegiatan. Ini bukan pengamatan terhadap apa yang baik dan buruk yang terjadi pada saat yang berlalu. Pertanyaan pokoknya ialah: apa yang terjadi pada diriku, bagaimana Tuhan bekerja dalam diriku, apa yang diminta dariku? Memang wajar kalau orang melihat juga tindakan atau reaksi-reaksinya hari itu, tetapi itu bukan hal utama. Di sini orang mesti sensitif terhadap perasaan batinnya, mood, dorongan-dorongan dalam dirinya tanpa takut menghadapinya. Mood, perasaan, dorongan, gerakan dalam batin adalah ‘roh’ yang justru perlu ditimbang-timbang sehingga orang bisa mengenali panggilan Tuhan pada pusat kesadarannya.
  4. Penyesalan dan kesedihan. Yang disedihi dan disesali bukan pertama-tama bahwa orang merasa ‘ada sesuatu yang kurang’ secara moral (gak ke gereja hari Minggu, atau kurang sopan terhadap orang lain), melainkan bahwa orang kurang tulus dan rendah hati serta kurang keberanian untuk menanggapi panggilan Tuhan. Jadi, ini bukan suatu depresi atau rasa malu akan kelemahan orang. Ini merupakan suatu pengalaman iman akan Allah yang cintanya begitu berkobar-kobar yang senantiasa ingin mendekati ciptaan-Nya. Lama kelamaan penyesalan dan kesedihan itu mengalir secara alamiah setelah langkah ketiga bahkan meskipun observasi belum selesai.
  5. Niat penuh harapan untuk ke depannya. Dalam terang pembedaan roh atas hal yang baru saja terjadi, orang perlu menjawab bagaimana ia menatap waktu ke depannya: keberanian menguap, takut, cemas, putus asa? Jika itu yang terjadi, orang mesti meneliti lebih jauh mengapa begitu dan berusaha menafsirkan suasananya. Orang perlu tulus mengakui perasaannya akan waktu ke depan dan tidak menekannya dengan harapan perasaan itu akan hilang dengan sendirinya. Sewajarnya muncul hasrat bernyala untuk menghadapi masa depan dengan visi yang sudah diperbarui dan dengan sensitivitas yang sudah dimohon supaya orang bisa menanggapi panggilan Allah dengan lebih beriman, rendah hati, dan jiwa besar. 

Adaptasi dari tulisan George Aschenbrenner SJ.

Salah satu langkah-langkahnya (dalam tradisi Katolik) bisa klik di sini.

5 replies

  1. Mantap…. Saya senang dan langsung di-copy untuk bahan pemeriksaan batin setiap hari untuk pribadi dan untuk siswa-siswi yang didampingi.

    Like

No Comment

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s