Ini saya pelajari dari pebisnis kelas kakap atau paus, yang kalau mau join hedge fund pastinya bukan hal sulit. [Hedge fund ini seperti gotong royong investasi yang biayanya hanya bisa ditanggung orang-orang tajir. Mereka mesti bayar 2% untuk pengelolaan investasi bareng itu dan potongan 20% dari profitnya. Ini mestinya cuma bisa dibuat oleh lembaga kredibel yang memercayakan investasinya ke fund manager tepercaya. Salah satu nama fund manager yang terkenal adalah George Soros (Quantum Group of Funds) yang beberapa dekade lalu bikin mata uang beberapa negara ancur.]
Terlepas dari BPJS, dengan smart financing, orang bisa mengelola keuangannya bahkan ketika bisnisnya collapse. Orang yang berwira usaha, juga jika mulai dengan dirinya sendiri, mesti menghitung gaji direktur dan karyawan, yang tak lain adalah dirinya sendiri. Pokoknya semua dihitung supaya ngerti biaya operasional dll, kan?
Perhitungan itu juga berlaku dalam spending duit gajinya: tentukan tabungan tetap setiap bulannya, hindari biaya tetap untuk asuransi dan beli barang dengan angsuran alias cicilan. Kalau ada sisa atau uang sampingan, ditambahkan ke tabungan.
Perhitungan itu juga semestinya jadi distingtif: biaya pribadi tak boleh masuk dalam bisnis kecuali yang tadi dihitung sebagai gaji. Nah, kalau dalam perhitungan bisnisnya itu ada laba tapi tak cukup untuk pengembangan bisnis, labanya jangan dipakai untuk konsumsi pribadi. Cukupkan konsumsi pribadi dari gaji tadi dong.
Jadi, laba itu sebaiknya dialokasikan untuk investasi yang liquid, alias gampang dicairkan (tidak identik dengan balok es). Bisa dimasukkan tabungan bank, bisa juga dijadikan emas. WAJIB DIWASPADAI: biaya tak terduga, hidden cost. Itu bisa mencakup gaji karyawan, biaya penyusutan barang, biaya perawatan, biaya legal, biaya kantor, dan biaya asuransi). Kendaraan dan rumah mewah (apalagi poligami) pasti tak cocok untuk skema usaha yang modalnya belum cukup untuk pengembangan usaha karena unsur tak terduga dari penyusutan dan perawatannya saja bisa merugikan.
Wirausaha mengandaikan orang punya askese atau pengendalian diri yang kuat: hindari biaya konsumsi yang semata mengejar keinginan (beli barang bukan karena memang butuh, melainkan semata karena pengin seperti anu, gemar koleksi). Kalau memang keinginan itu menggebu-gebu, baiklah keinginan itu diarahkan ke ranah pendidikan: beli buku (untuk dibaca!), ikut kursus upgrading, membangun jaringan (juga perlu makan-makan, misalnya), kegiatan sosial. Ini semua bisa meningkatkan pengetahuan, tapi juga insight rohani, yang tanpanya wawasan orang jadi mentok dan cuma bisa rakus memanfaatkan laba.
Jika usaha sudah memungkinkan diversifikasi, laba bisa diinvestasikan dalam bentuk selain tabungan bank atau emas. Di sini, orang bisa coba melihat peluang passive income (pasar saham, menyewakan properti, jual beli tanah, usaha waralaba bin franchise, dll).
Jika suatu saat bangkrut karena ekspansi, orang tak perlu sampai jual aset pribadi. Kenapa? Ya karena yang bangkrut cuma usahanya dan aset pribadi tak terhubung dengan perusahaan. Bukankah aset perusahaan dan laba tadi tak pernah dipakai untuk urusan pribadi?
Kata pebisnis kelas paus itu, kelemahan sebagian orang Indonesia adalah sangat tidak cerdas perkara keuangan [dan perkara lain juga sih]: dapat gaji atau pegang uang lalu dunia serasa akan kiamat esok hari, malas berinvestasi pengetahuan karena puas dengan ijazah. Rakus tapi mager berproses (yang pasti butuh waktu lama, maunya kayak *nd*mie, serba instan) dan serba tergantung pada orang lain. Akibatnya diemplok waktu.
