Ini bukan polemik mengenai Whoosh, melainkan akomodasi untuk memelekkan mata yang mungkin masih merem, entah disengaja atau tidak.
Kalau Anda berkesempatan mengunjungi Balai Yasa, Yogyakarta, mungkin Anda masih bisa melihat suatu ruangan besar yang diberi nama seorang menteri yang berjasa besar dalam reformasi pengelolaan perkeretaapian Indonesia. Sosok ini sempat menempati dua pos kementerian, tetapi pada periode kedua presiden RI ke-7, ia tak lagi melayani kepentingan publik di pemerintahan. Dalam Wikipedia, mungkin masih bisa Anda temukan bahwa menteri ini rupanya berbeda pendapat dengan presiden berkenaan dengan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Menurut mantan menteri ini, proyek kereta cepat jarak pendek itu menegaskan ketidakmerataan pembangunan.
Di samping itu, bisa jadi proyek itu akan merugi; ini sudah diantisipasi oleh presiden dan ditegaskan bahwa poin penting transportasi massal bukan untung-rugi, melainkan pelayanan kepada masyarakat. Mungkin masih ada tayangannya di tautan ini. Betul, kan?Betul. Pelayanan itu, kalau diukur dengan untung-rugi, ya gak jadi pelayanan lagi, tapi jadi bisnis.
Akan tetapi, kalau Anda berpikir dengan perspektif yang dipakai mantan menteri tadi, Anda akan bertanya: masyarakat mana, publik mana, atau siapa yang dilayani oleh transportasi massal tadi. Idealnya, ya semua, wong namanya juga publik. Akan tetapi, pada kenyataannya, “semua” itu pasti ada batasannya, yaitu “semua” yang mampu membeli tiketnya, bukan? Jadi, ideologi pelayanan publik kereta cepat pun, pada dirinya, tanpa merujuk soal kesenjangan pembangunan antarpulau, sudah mengandung eksklusi.
Terlepas dari perkara teknis dan ideologis itu, ada hal yang mengganggu pikiran saya belakangan ini dengan proyek kereta cepat jarak pendek ini: apakah benar proyek seperti ini adalah proyek merugi? Jangan-jangan, ini malah proyek untung! Sekali lagi, dengan perspektif mantan menteri tadi, Anda bisa bertanya: untung bagi siapa?
Mari hitung-hitungan sedikit. Jika penumpang kereta cepat ini sehari mencapai 25 ribu dan harga tiketnya 250 ribu, dalam setahun diperoleh 2,3 trilyun. Nilai proyek ini katakanlah 110 trilyun. Itu mungkin baru balik modal sekitar 50 tahun.
Akan tetapi, itu kan baru hitung-hitungan tiket. Memangnya pendapatan proyek ini cuma berasal dari ticketing? Di tautan ini mungkin masih dapat Anda simak bahwa sudah ada master plan untuk membangun pusat bisnis di kawasan stasiun. Bukankah ini perkara yang dalam proyek MRT Jakarta disebut dengan bisnis Kawasan Berorientasi Transit (Transit Oriented Development alias TOD)? Artinya, bukankah dalam proyek kereta cepat itu sebetulnya sudah ada skema bisnis kawasan, dan itu berarti mesti ada sewa atau jual-beli kawasan atau ruang? Mana mungkin sewanya cuma senilai kos-kosan mahasiswa, kelas premium sekalipun?
Saya tak punya data, tetapi konon perusahaan terkaya di negara maju mendapatkan keuntungan besar dari bisnis kereta cepat justru karena perusahaan itu menguasai bisnis kawasan di setiap stasiun TOD-nya. Perusahaan itu tidak punya masalah untuk memberi subsidi tiket kereta. Artinya, perusahaan itu secara komersial bisa menangani proyek transportasi massal, tanpa ideologi pelayanan publik, tanpa membebani APBN.
Nah3, saya dengar kabar, katanya, dulunya, proyek kereta cepat kerja sama ini dilaksanakan dengan skema business to business. Tentu maksudnya ini adalah proyek bisnis perusahaan, juga kalau perusahaan itu adalah milik negara.
Kalau pada akhirnya proyek itu memakai APBN, apakah itu bukannya berarti duit negara dipakai untuk membiayai perusahaan yang berlimpah cuannya?
Sakitnya tuh di sini: NKRI, pelayanan publik, kemajuan, pembangunan, demokrasi, dan ideologi lainnya bisa jadi menguntungkan oligarki lantaran mayoritas warganya tak punya literasi berbasis data. Jangan khawatir, kalau Anda tak berdata, Anda bukan satu-satunya. Tak perlulah menyebut soal permainan saham (siapa bermain di mana, untuk siapa) atau politik dinasti (ini anak siapa, menantu siapa, dengan jabatan apa). Terlalu jauh untuk saya. Saya bahkan tidak tahu apakah jalan aspal di depan rumah saya itu mestinya diperbarui aspalnya setiap tahun, atau setiap menjelang pemilu. Kalau jebulnya dianggarkan setiap lima tahun, dan de facto sudah sepuluh tahun belum ada pembaruan aspal, ke manakah larinya anggaran pembaruan aspal itu?
***
Saya tidak terlalu risau soal politik dinasti yang berbau-bau nepotisme. Saya lebih risau dengan demokrasi yang disusupi senjata dan demokrasi berbasis cuan. Apalagi, jika pistol dan duit itu akur dengan orang-orang dalam lembaga politik, demokrasi macam mana lagi yang bisa didustakan?
Nah, bukankah kongkalikong militer, ekonomi, dan politik itu bisa juga memanfaatkan politik dinasti?
Iya juga sih, begitulah Orba, dengan segala keturunannya.
