Ngimpor

Published by

on

Saya bukan penonton debat cawapres setelah menonton debat cawapres pertama. Semalam pun, sempat disetelkan oleh teman serumah selagi saya makan malam sendirian. Tetapi, setelah teman saya ini pergi dan menawari apakah saya mau lanjut nonton, saya bilang tidak. Saya lebih menikmati makan dalam keheningan daripada nonton debat yang terhadapnya memang saya sudah punya asumsi sendiri berdasarkan debat cawapres pertama. Lagi-lagi saya ulangi lirik lagu Iwan Fals: Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.

Itu artinya, kalau dalam hal yang besar Anda tak peduli lagi prinsip, jangan harap hal-hal kecil akan Anda atur sesuai prinsip. Itu berarti, kalau Anda main tabrak aturan dasar demi kepentingan Anda, tak perlu berharap Anda tahu sopan santun karena akhirnya pengetahuan tentang sopan santun itu hanya akan dipakai demi kepentingan Anda. Anda bisa bungkuk-bungkuk hormat meskipun kata-kata Anda melecehkan orang lain, bukan?

Ndelalahnya, saya dapat info bahwa salah satu topik dalam debat kemarin berkenaan dengan data yang saya pakai sebagai pijakan proyek tulisan saya. Syukurlah, masih ada cuplikan rekaman debat yang tak perlu bikin saya mesti nonton dari awal sampai akhir; dan ketika saya simak, saya sungguh geleng-geleng sedih dan prihatin mengingat lirik lagu Iwan Fals tadi.

Saya tidak punya problem dengan seorang anak menasihati orang tua. Why not mengapa tidak? Akan tetapi, ada ungkapan Jawa yang saya pegang di sini: bener durung tentu pener; benar belum tentu tepat. Saya tahu maksud anak muda ini supaya pemimpin itu tidak bikin narasi yang bikin orang jadi takut. Persoalannya, apakah anak muda ini tahu bahwa nasihatnya itu justru bisa memperbodoh orang yang takut?

Saya sampaikan di sini grafik impor beras dari Badan Pusat Statistik.
impor berasJadi, tidak benar bahwa Indonesia baru impor beras belakangan ini. Tahun 2023 bahkan tertinggi setelah mulai impor di akhir tahun 80an: sekitar 3 juta ton beras! Tentu Anda bisa berargumentasi bahwa impor itu hanya untuk stok sehingga sebetulnya kita sudah swasembada beras. Jika memang betul begitu, kita perlu tafsir ulang mengenai apa artinya swasembada, apakah itu termasuk cadangannya (sekitar satu/dua kilogram per kepala) atau tidak.

Soal estate food di Kalimantan Tengah pun, yang menurut anak muda ini mesti dilihat secara positif sebagai keberhasilan, Anda perlu pertimbangkan laporan dari WALHI bahwa sebagian dari jagung yang tumbuh subur itu ditanam di polybag, sehingga masuk akallah komentar “Kalo gitu aja kenapa gak tanam di atas gedung-gedung kementrian toh?”

Mengenai greenflation sebagai pertanyaan gemoy, saya lebih melihatnya sebagai wujud semacam greedflation dalam debat. Kalau Anda sungguh ingin tahu mengapa pertanyaan tentang greenflation dijawab dengan ekonomi sirkuler [yang katanya si Mas itu gak nyambung], Anda bisa klik atau nunul dan simak tulisan pada tautan ini. Tentu, namanya debat ya cari menangnya sendiri. Bisa terjadi, demi menangnya sendiri, data diputarbalikkan. Itu yang justru jauh lebih menakutkan daripada menguak data, yang mungkin tidak semanis katanya.

Satu hal lagi yang saya pelajari dari cuplikan debat itu. Anak muda ini sebut aneka macam cara yang tampak canggih karena gagasannya untuk memakai pendekatan teknologi mutakhir. Komplet tampaknya menyebut kunci pertanian untuk produktivitasnya: pabrik pupuk, combine harvester, dan sebagainya.

Sayangnya, the man behind the gun luput dari perhatiannya, luput juga dari perhatian pemimpin negeri ini setelah Sukarno lewat marhaenismenya. Yang diperhatikan bisa jadi atlet yang mengharumkan nama bangsa dengan membuka peluang jadi ASN. Sedangkan petani, boro-boro jadi ASN, malah diminta untuk ikut asuransi pertanian! Halooo…. siapa ya yang punya kewajiban menyediakan pangan? Petanikah, atau negara?
Boro-boro dapat uang pensiun, jaminan pupuk, benih murah saja belum tentu. Boro-boro mau bebas dari jerat tengkulak, nilai tukar petani saja tak kunjung tiba pada target minimal!

Tak perlu saya takut-takuti untuk membaca data dari Badan Pusat Statistik, bukan?

usaha taniEntah kalau dengan data itu Anda masih gemar memakai omong besar “Bonus Demografi” tahun 2045.

Previous Post
Next Post