Moral Hazard

Published by

on

Ini cerita yang saya yakini benar, juga karena masuk nalar. Tak perlu dikaitkan secara langsung dengan perseteruan pilpres, apalagi dengan sentimen pribadi terhadap pihak mana pun [meskipun waspada terhadap kultus individu]; saya percaya saja, siapa pun pemenang pilpres, ada oligark yang untung, meskipun jika capres tertentu menang, kemungkinan cuannya berkembang jadi lebih berlipat ganda. Saya asumsikan reportase pada tautan ini bisa dipercaya: di situ disebutkan klaim penyumbang 1/3 ekonomi Indonesia mendukung siapa.

Cerita dimulai dengan ketika Covid-19, para pengusaha kelimpungan karena volume pekerjaan mesti dikurangi akibat ketentuan social distancing. Mereka gak mungkin melakukan pengembangan usaha dan mau gak mau mesti cari kredit dari bank. Yang jadi debitur bank ini tentu gak cuma satu dua. Normalnya, mereka mesti kembalikan pinjaman dengan angsuran pokok plus kembangnya. Nah, runyamnya, tidak semua debitur pada masa sulit itu bisa mengangsur dan bayar kembangnya. Padahal, bank itu kan bukan kayak tambang air laut, punya batas juga. Njuk dari mana bank punya duit kalau debitur atau obligornya belum juga balikin bahkan pinjaman pokok mereka?

Syukurlah, pemerintah itu baik banget, mengeluarkan kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional. Salah satunya adalah paket stimulus untuk relaksasi perbankan melalui bantuan likuiditas. Di sini Anda mungkin pernah dengar kasus BLBI, dan itulah mengapa pemerintah bisa kasih dana sebesar 400-an trilyun rupiah: pemerintah dapat dari bank sentral, yaitu Bank Indonesia. Fungsi bank sentral ini cocok dengan UU No. 13/1968 Pasal 32 ayat 3.

Bagaimana bank sentral ini kasih dana 400-an trilyun rupiah? Pasti gak pakai karung, tapi lewat program (Quantitative Easing) untuk menambah jumlah uang yang beredar (ada lembaran uang baru kan ya beberapa tahun terakhir?) dan menurunkan suku kembang. Harapannya, kalau uang nambah dan suku kembang turun, para pelaku usaha lebih berani ambil risiko untuk cari kredit dari bank. Uang bersirkulasi.

Dalam perkara dana Pemulihan Ekonomi Nasional tadi, Bank Indonesia membeli Surat Berharga Nasional pemerintah di pasar sekunder (pasar bursa) dan perdana (IPO: initial public offer, proses Anda menawarkan saham perusahaan baru untuk pertama kalinya) senilai lebih dari seribu trilyun rupiah. APBN tertolong dengan program semacam term repo perbankan (jual beli surat berharga tapi janji ya ntar beli atau jual lagi pada waktu dan harga yang ditetapkan), pelonggaran Giro Wajib Minimum (dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI) dan swap valas (jual beli atau main valuta asing gitu ya?). Dengan program itu, diharapkan pasokan uang tetap stabil dan bank-bank mau menyalurkan kredit lebih besar lagi, para pengusaha bisa berinovasi, dan likuiditas ekonomi meningkat.

Apakah kebijakan cetak uang ala Quantitative Easing tadi gak bikin inflasi menjadi-jadi? Enggak jika sirkulasi uangnya tepat sasaran dan tidak diembat para pemburu cuan tak bermoral apalagi etika.
Menurut pengamat OJK alias Otoritas Jasa Keuangan, perbedaan kredit bermasalah (NPL, non performing loan) antara sebelum pandemi dan setelah pandemi relatif kecil. Pada tahun 2020 total nilai kredit yang direstrukturisasi (nyicilnya diperlonggar gitu) adalah 800-an trilyun rupiah. Pada tahun 2019 akhir, nilai NPL tadi di angka 2,53%; sedangkan di pertengahan tahun 2021 besarnya 3,24%. Artinya, pembayaran angsuran dan kualitas kreditnya baik berkat bantuan PEN tadi.

Persoalannya, yang keliatan baik itu belum tentu memang menunjukkan kondisinya baik-baik saja. Rasio pinjaman berisikonya (Loan at Risk/LaR) beda nasib dengan NPL. Rasio LaR itu mengukur berapa persen
penerima kredit yang menunggak. Saya gak tau rumus perhitungannya, tapi mestinya semakin tinggi persentasenya, semakin banyak pula penunggak. Lha, di akhir tahun 2019 itu tercatat 7,89% saja tetapi di pertengahan tahun 2020 jadi 17,54%, dan sempat jadi 23,28% di akhir tahun 2020. Memang pada Desember 2023 angkanya turun jadi 12,07%, tetapi rasio itu, hampir dua kali lipat dibanding sebelum pandemi, bukanlah pertanda baik karena menunjukkan bahwa batas waktu relaksasi perbankan diulur-ulur terus alias gak balik-balik juga duitnya ke bank sentral. Bayangkanlah emak-emak jualan gorengan dan setiap kali pelanggannya ngebon terus sampai emak-emak ini tak bisa lagi beli bahan gorengan. 

Jadi, keringanan cicilan sampai tahun 2022 diundur lagi sampai 2023 dan (semoga) terakhir 2024. Siapa yang untung? Ya penerima bantuan, yang mungkin banknya sudah moncer jaya. Siapa buntung? Ya APBN-lah (baca: rakyat), yang tiap kali menalangi hutang yang tak kunjung dibayarkan.

Nah, yang saya sampaikan selanjutnya ini adalah salah satu kemungkinan penyebab molornya injury time ini dengan preseden kasus BLBI. Presiden Jokowi sebetulnya sudah membentuk Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI dengan Kepres No. 6/2021. Pantas dipuji upayanya; kasus ini merugikan negara 100-an trilyun rupiah dan terkatung-katung sejak akhir Orde Baru. BLBI dikucurkan sebesar 147-an trilyun rupiah kepada 48 bank, tetapi banyak luput sasaran karena konon, ada juga bank yang sebetulnya mampu mengatasi likuiditasnya secara mandiri tapi mengklaim diri sebagai bank pesakitan demi dapat BLBI. Kapan lagi datang kesempatan untuk ngemplang banyak cuan, kan?

Saya tidak tahu persisnya bagaimana cara merampok BLBI itu; belum dapat tutorialnya. Akan tetapi, dengan modal pikiran kotor saja saya bisa mengerti bahwa misalnya peserta asuransi merekayasa kecelakaan demi mendapatkan ganti kendaraan baru atau sebagai penyelenggara asuransi menunda ganti rugi sampai duitnya beranak pinak lebih dulu. Bisa juga bank mengeluarkan jumlah penarikan kredit satu milyar tetapi bilang ke bank sentralnya tiga milyar, bukan? Mestinya ada banyak jalan pengemplang dana segar macam itu.

Sebutlah kasus besar oleh Surya Darmadi (Grup Duta Palma) yang menyerobot lahan negara puluhan ribu hektar di Riau untuk kebun sawit, mega korupsi dana pensiunan Asabri dan Jiwasraya oleh Benny Tjokrosaputro (Komisaris PT Hanson International Tbk) dan Teddy Tjokrosaputro (PT Hokindo Mediatama) yang kerugian negaranya ditaksir mencapai seratus sekian trilyun rupiah. Saya tidak tahu berapa yang akhirnya kembali sebelum para napi tipikor itu kelar hukumannya atau menjalani sidang di akhirat. Menurut laporan dirjen keuangan tahun lalu, ada hampir 30 trilyun rupiah yang sudah dikuasai negara; belum sepertiga jumlah klaim kerugian negara.

Itu tadi baru kerugian seratusan trilyun rupiah ya. Kembali ke PEN selama pandemi kemarin, nilai kucuran duitnya jauh lebih besar daripada BLBI di era ’98. Apakah dengan besaran seperti itu, di tengah galaunya orang lantaran pandemi, godaan pengemplang mengecil? Saya meragukannya.

Lebih membahayakannya lagi, sudah keluar UU No. 4/2023 (Pasal 36A) yang memosisikan pemerintah lebih superior daripada Bank Sentral alias BI yang tak lagi independen untuk menjaga nilai mata uang rupiah. Artinya, BI mesti tunduk kapan saja pemerintah menginginkan cetak uang baru untuk beli Surat Berharga Nasional (SBN) supaya APBN lancar. Jelas kan, risiko inflasi atau melemahnya daya beli jadi ancaman nyata.

Konon, IMF memberi rekomendasi supaya relaksasi kredit tidak diperpanjang lagi. Mbok sudahi ngebonnya gitulah supaya kerugiannya tak terus menerus beranak pinak karena cukup banyak perusahaan yang rentan dan berisiko hutang tinggi akibat kelonggaran kredit itu. Rasio cakupan bunga (ICR: Interest Coverage Ratio, yang mengukur kemampuan usaha untuk menutupi beban keuangan atau beban bunga akibat adanya pinjaman berbunga dari pihak lain) perusahaan-perusahaan itu kurang dari 1: kurang mampu menutupi beban keuangannya. Saya tak punya datanya, tetapi rekomendasi IMF itu menyisakan rasa kepo saya: kalau memang itu hutang gak dibayar-bayar juga dan kondisi debitur buruk, jangan-jangan memang 800-an trilyun yang ditunda-tunda pengembaliannya itu sudah beralih wujud jadi properti lain, kebun sawit, tas bermerk ala ibu-ibu pejabat tajir, mobil mewah, bansos politik, dan seterusnya….

Kalau itu terjadi, angkanya lebih mengerikan dari kasus BLBI, dan dampaknya pasti rakyat jelantah yang mesti menanggungnya. Padahal, penyebabnya ya sepele, cuma moral hazard yang jadi bagian pikiran kotor saya tadi. Sesepele itulah moral sehingga bisa diabaikan. Etika lebih rumit karena memaksa rasio bekerja dan betul kata Carl Jung: mikir itu susah, makanya kebanyakan orang main hakim aja. Tentu, penilaian dan penghakimannya gak datang dari pikiran [kan susah], tapi dari perasaan: baperan alias like-dislike.

Semoga para pengebon itu tak menunda-nunda lagi pembayaran hutangnya… kasihan rakyat jelantah.  

Previous Post
Next Post