Ini intermezzo, rehat, baca-baca cerita lucu pasca pemilu yang bikin saya ngguyu. Tentu, tawa saya menyunggingkan lara, tetapi mungkin duka itu berguna jika berbasis data.
Supaya Anda tidak ikut-ikutan berduka, anggaplah tawa saya ini sebagai akibat saya baperan.
Beberapa waktu lalu orang penting di negeri ini bilang bahwa bantuan pangan [yang konon beda dengan bansos, mungkin beda istilah doang sih ya] gak ada hubungannya dengan kenaikan harga beras. Justru, bantuan pangan itu bisa mengendalikan harga beras supaya tak naik drastis. Beritanya ada di tautan ini.
Di situ saya tertawa kecil. Bukannya pengendalian harga tuh mestinya ditujukan ke pasar ya (di tautan ini misalnya ada seruan pedagang)? Kalau bantuan pangan diberikan ke calon pencoblos, gimana bantuan itu mau nambah kemampuan suplai pasar, jal? Bukankah beras di pasar tetap langka? Kalau langka, bukankah sewajarnya harga naik? Kalau kenaikan harga ini dengan sengaja diperhitungkan sebagai strategi politik, ini lebih jahat lagi.
Nah, kemarin sepertinya orang penting lainnya di negeri ini menegaskan bahwa bantuan pangan sebelum Pemilu ini tidak mengakibatkan kelangkaan beras karena bantuan itu asalnya dari impor! Beritanya ada di tautan ini.
Di situ tawa saya membesar, berbanding lurus dengan lara. Dua orang penting itu memberi info yang poinnya sama: kita kekurangan beras, maka butuh impor. Dukanya ialah, impor beras itu, yang konon mencapai dua juta ton, alih-alih untuk mengendalikan harga, justru dipakai untuk bantuan sosial (atau bantuan panganlah kalau Anda mulai mendeteksi istilah bansos sebagai ungkapan peyoratif bak “petugas partai”).
Saya berduka, karena orang penting pilihan saya seakan-akan tak mengerti hal sederhana dan malah membungkusnya dengan aneka cerita besar yang mengerikan. Katanya, di semua negara harga beras naik akibat El Nino. Bisa jadi harga beras naik di mana-mana dan tentu saja beras di Eropa jauh lebih mahal wong itu bukan bahan pokok makanan mereka. Kalau Anda lihat tabel di tautan ini, Anda dapati harga beras terendah ada di Indonesia, $0.85 per kilo. Kalau dirupiahkan dengan 1$=Rp15.600, itu berarti Rp13.260. Saya tanya kepada ibu-ibu, di pasar manakah sekarang bisa didapatkan beras seharga 13 ribu per kilo? Harga Eceran Tertinggi yang ditetapkan pemerintah memang antara kisaran 10 ribu sampai 14 ribu untuk dua varian beras, tapi….
Sehitam apakah kambing yang bernama El Nino? Konon, El Nino memang menyebabkan produksi beras turun di kisaran 6%. Walakin, untuk negara semacam India, penurunan produksi sebesar itu tidaklah signifikan dan mereka tetap perlu ‘membuang’ beras keluar supaya India tidak sampai over supply. Kenapa jangan sampai over supply? Ya biar harga berasnya gak turun dong ya. Lha kenapa jangan sampai harga turun? Ya biar petaninya senang dong. Maklum, April nanti bakal Pemilu, butuh pencoblos yang bisa joget senang.
Begitulah dukanya. seperti tumbu entuk tutup: klop. Sebagaimana Narendra Modi butuh suara untuk Pemilu dengan mengendalikan harga lewat ekspor beras, begitu pula importir beras Indonesia butuh pasokan beras. Bedanya ya itu tadi. India ekspor supaya harga beras stabil menjelang Pemilu. Indonesia impor supaya pencoblos stabil 58 menjelang Pemilu. Kelompok 58 (bisa berubah namanya kalau jumlahnya berkurang) bisa saja protes kenaikan harga beras, tapi apa gunanya, Pemilu sudah selesai. Dijogetin aja dong.
Sik sik sik, Rom. Memangnya Indonesia impor beras dari India? Hehehe, saya gak tau persisnya. Menurut tautan ini, terbanyak sih dari Thailand. Akan tetapi, sebaiknya lihat saja problem utamanya: entah itu India, Vietnam, Thailand, Pakistan, Myanmar, mereka sama-sama terkena El Nino, tapi kok ya bisa ekspor? Mengapa Indonesia malah impor?
Dari sebuah grup diskusi saya mendapat detail bahwa beras dari Vietnam itu berjenis beras patah super yang konon di Vietnam sendiri jadi menu bagi babi, yang akan tiba di gudang pembeli dengan biaya 8.000 rupiah per kilo, dijual Bulog dengan kisaran harga 10.000 per kilo sebagai raskin yang dialirkan sebagai bansos atau bantuan pangan. Bagaimana detail ini menjelaskan alasan mengapa Indonesia malah impor ketika negara lain justru punya persoalan dengan surplus beras?
Silakan tilik kembali posting kejam saya mengenai Capitalocene. Dalam era yang mungkin bisa disebut hpercapitalism ini, kongkalikong pasar-negara memang nikmat. Rent seeker alias pemburu rente tanpa modal besar pun bisa berani pinjam duit untuk impor dan distribusi beras dengan margin laba yang etika ndhasmu itu. Cukup Anda bayangkan bisa dapat kuota impor seribu ton beras saja, dan per kilonya Anda untung 2000 perak. 500 peraknya Anda pakai untuk urus administrasi beserta pejabatnya; kalau kurang ya 750-lah. Anda masih punya 1.250 perak. Anda masih dapat satu milyar dua ratus lima puluh juta rupiah. Bayar hutang 250 juta rupiah no problem.
Begitu saya tertawa dalam duka lara. Kerja keras petani Indonesia bak tiada artinya. Ini sudah berlangsung lama, dan tawa lara itu tak berhenti juga karena konon ada orang yang bakal dapat gelar jenderal kehormatan; mungkin karena prestasinya membangun food estate di negeri ini, entah di sebelah mana; mungkin juga karena prestasinya menjanjikan program maksi gratis dan sudah dibahas bahkan sebelum secara definitif diputuskan siapa presiden barunya.
Kesusu, lucu, marakke ngguyu, dan kalau data yang saya kutip di sini keliru, bisa jadi saya juga kesusu.
