Susahnya Puasa

Published by

on

Kalau Anda membaca berita pada tautan ini dan tak ada reaksi apa pun dalam hati Anda, saya berharap Anda meninjau kembali cara Anda beragama atau beriman. Barangkali agama atau iman Anda itu sungguh tak relevan lagi. Saya mengandaikan reportase itu klop dengan kenyataannya, dan jika itu tidak benar, tulisan ini kehilangan landasan, dan tak perlu Anda lanjutkan baca.

Berita itu bisa jadi contoh bagaimana agama dipolitisasi untuk kekuasaan. Saya sitirkan bagi Anda refleksi Imam Shamsuddin ibn al-Qayyim yang hidup pada abad ke-14 Masehi: Shariah is all about wisdom and achieving people’s welfare in this life and the afterlife. It is all about justice, mercy, wisdom, and good. Thus, any ruling that replaces justice with injustice, mercy with its opposite, common good with mischief, or wisdom with nonsense, is a ruling that does not belong to the Shariah, even if it is claimed to be so according to some interpretation.

Saya kira di negeri ini kata ‘Syariat’ sudah terlanjur diasosiasikan secara reduktif sebagai hukum agama Islam yang diidentikkan dengan aturan ini itu seturut Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Memang sih ada benarnya karena dua hal itu adalah sumber primer hukum Islam, tetapi ‘Syariat’ tentulah tidak sesempit itu. Jika dimengerti sesempit itu, ada bahaya orang menyamakan fatwa dengan fikih dan mengidentikkan fikih dengan ‘Syariat’ dan kemudian menyamakan ‘Syariat’ (yang tak lain adalah tafsiran mengenai ‘Syariat’) dengan kehendak Tuhan. Itu mengapa dulu terjadi (mungkin sekarang juga masih ada sisa-sisanya) pertentangan antara aliran yang satu dengan yang lainnya: sama-sama mengklaim tahu persis kehendak Tuhan.

Dalam perkembangan mutakhir hukum Islam, ada upaya untuk menyelesaikan pertentangan seperti itu dengan menemukan maksud di balik fikih yang bervariasi dan bahkan maksud di balik ‘Syariat’. Tidak perlu jauh-jauh ke ranah agama, bagaimana menangkap aturan lalu lintas saja, bukankah orang cenderung fokus pada “boleh atau tidak”-nya daripada “mengapa boleh atau tidak”-nya? Bukankah orang yang egosentris cukup berpikir bahwa “mataku masih bisa awas” daripada “supaya orang lain bisa lihat”? Bukankah orang bisa latah melaju dengan lampu hazard bin bahaya tanpa memikirkan bahwa tindakannya justru mengundang bahaya? Sebagian dari Anda bisa saja yakin bahwa, di jalan raya tanpa trotoar, pejalan kaki sebaiknya berjalan kaki di sebelah kiri karena begitulah yang benar.

Saya tambahi reportasi lain yang melegakan saya sesaat, tetapi untuk mengerti konteksnya, Anda perlu baca posting Moral Hazard karena ini berhubung dengan kekhawatiran saya sebelumnya. Melegakannya ialah bahwa Otoritas Jasa Keuangan sudah menghentikan restrukturasi kredit terdampak Covid-19 sejak akhir Maret lalu. Artinya, program pemulihan ekonomi nasional tidak lagi memberi kelonggaran kepada lembaga keuangan yang menerima bantuan kredit untuk mengembalikan pinjaman mereka. Kalau tak kembali, perekonomian nasional amburadul; kenaikan harga dan merosotnya kurs rupiah hanyalah simtom.

Selama sebulan ini saya rajin memantau kurs rupiah dan memang merosotnya rupiah tidak sangat drastis sih. [Akan tetapi, tahukah Anda bahwa kurs rupiah kita saat ini sebelas dua belas dengan kurs rupiah empat tahun lalu ketika Covid-19 merajalela menghempaskan para pengusaha menengah ke bawah yang tak terhubung dengan bisnis medis atau farmasi?] Semoga memang para penerima PEN itu tidak jadi pengemplang uang negara. Jika demikian, benar-benar melegakan, sekurang-kurangnya itu bisa membantu pemerintah memperbesar ruang fiskal. Akan tetapi, sudah saya bilang tadi, ini kelegaan sementara, karena memang saya tak punya data siapa-siapa penerima PEN tadi dan sudah sejauh mana mereka mengembalikan pinjaman dari uang negara itu.

Sekarang saya sodorkan narasi kecil untuk validasi kelegaan sementara tadi. Pelaku UMKM di masa pandemi tidak muncul sebagai orang yang punya bisnis raksasa tambang atau perkebunan dan memecahnya jadi bisnis menengah atau kecil. Sebagian dari mereka mesti menjual tanah atau rumah atau properti lain demi buka usaha dan bisa jalan dengan harapan mendapat bantuan dari negara. Betul, mereka ini didata, termasuk besaran bantuan yang diperlukan. Apakah dengan setor data itu mereka mendapatkan bantuan yang diharapkan?

Itulah yang membuat saya risau. Narasi kecil itu, hanya karena saya tak punya data berapa jumlahnya, tak bisa saya abaikan. Saya yakin bahwa ada sebagian pelaku bisnis kecil atau menengah yang mendapatkan janji suntikan modal tetapi sampai PEN selesai mereka tak mendapatkan apa-apa.
“Halah, nyatanya toh usaha mereka juga masih bisa jalan.”
“Betul, itulah masalahnya. Mereka menjalankan usahanya secara tertatih-tatih dan menjual properti, Anda memakai data mereka untuk mendapatkan kucuran program PEN, yang seharusnya untuk mereka!”

Itulah mengapa saya beri judul posting ini begitu. Menahan lapar dan hausnya mungkin sudah susah, tetapi yang jauh lebih susah ialah maksud puasa yang sesungguhnya. Konon, orang Israel protes kepada Allah karena mereka berpuasa tapi Allah tidak memberi rida. Mereka merendahkan diri tapi Allah tak mengindahkannya juga.
Apa jawabannya?
“Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi. Sungguh-sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu sebagai lapik tidur? Sungguh-sungguh itukah yang kausebutkan berpuasa, mengadakan hari yang berkenan pada Tuhan?”

Tidak berhenti di situ. Nabi, Yesaya, menegaskan maksud puasa itu begini,”Berpuasa yang Kukehendaki ialah:
supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk,
supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang,
supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”

Dengan begitu, jelaslah bahwa ribuan tahun sebagian orang beragama menjalankan ritual puasa tanpa menangkap maksud ritualnya; atau, bisa juga, sebetulnya menangkap maksudnya, tetapi mencukupkan diri dengan yang ritual-ritual gitu aja, supaya tak usah repot memperjuangkan keadilan. Sudah enak-enak berkuasa, ngapain susah-susah berpuasa?

Previous Post
Next Post