Malu

Published by

on

Katanya, hanya sekitar 63,46% masyarakat Indonesia yang dapat mengakses keadilan sosial (pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, dll). Kalau masyarakat itu berarti warga Papua Barat, persentasenya turun jadi 50%. Anda bisa runut datanya dari tautan ini. Asumsinya, warga Papua Barat itu adalah gabungan warga asli dan pendatang. Saya yakin, persentase itu akan turun jika yang diperhitungkan hanya warga asli Papua. Kiranya ini adalah penistaan sila ke-5 Pancasila.

Semoga Anda membedakan antara kemegahan infrastruktur dan akses terhadap keadilan sosial, seperti jika Anda menghitung rata-rata produk kotor masyarakat Indonesia. Tahun lalu, menurut BPS, Produk Domestik Bruto mencapai 75 juta per tahun per kepala. Itu tidak membuat kepala Anda atau saya menghasilkan pendapatan kotor segitu banyaknya. Betul 75 juta per tahun per kepala, tapi kepala saya gak sebanyak itu hasilnya; laporan SPT saya selalu nihil (gitu kok bangga, wkwkwkwk).

Tampaknya bangsa kita melestarikan ketimpangan. “Bangsa kita” tentu maksudnya adalah negara, yang semestinya bikin langkah-langkah kebijakan seperti perpajakan progresif, program kesejahteraan sosial, reformasi pendidikan dan kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi inklusif. Detailnya njelimet, tetapi saya gak mau tertipu omongan pejabat mengenai ini itu.

Dalam tautan BPS tadi disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi ada di kisaran 5%. Ini bisa diomongkan oleh siapa saja untuk kepentingan masing-masing. Yang satu bilang bahwa angka itu wow, tapi yang lain bisa bilang itu terlalu kecil dari yang seharusnya. FYI, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum 2014 besarnya lebih dari 5%; Anda bisa baca pada tautan ini. Kenapa bisa gitu ya? Bukankah pembangunan infrastruktur ekonomi begitu wow dalam satu dekade terakhir? Betul, tapi perlu ke paragraf awal tadi: wow tidak identik dengan keadilan sosial.

Di sini, mungkin ada baiknya memahami bagaimana negara bikin kebijakan untuk mengelola ketimpangan tadi. Sekurang-kurangnya dalam hal ekonomi ada dua kebijakan mendasar: kebijakan moneter dan fiskal.

  • Yang berwenang bikin kebijakan moneter adalah bank sentral. Fokusnya: mengelola inflasi, bikin stabil mata uang. Itu artinya berkaitan dengan pengendalian suku bunga dan jumlah uang yang beredar. Gampangannya, makin naik suku bunganya, minat masyarakat untuk saving lebih besar daripada spending. Ini bisa menekan inflasi, tapi mesti ada dampak lain yang mau gak mau mesti bersinggungan dengan kebijakan fiskal; misalnya, kalau suku bunga naik, bisa jadi kredit usaha seret dan buka lapangan kerja baru jadi susah.
  • Kebijakan fiskal adalah wewenang pemerintah. Fokusnya: stabilisasi ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi, mengatasi pengangguran, dan memeratakan pendapatan. Gimana dilakukan? Lewat perpajakan dan pengeluaran untuk APBN. Tak mengherankan, kebijakan fiskal kurang fleksibel karena perubahannya (pajak dan APBN) bergantung juga pada proses politik.

Kebijakan bank sentral mesti memantau pasar yang sunnattulahnya adalah supply and demand. Kebijakan moneter, jangkauannya lebih luas. Walakin, jika kebijakan moneter dan fiskal ini gak sinkron, perekonomian mestilah timpang, bahkan meskipun IKN dibangun di Papua.

Nota bene: PDB per kepala 75 juta tadi adalah peningkatan 30-an juta dari PDB tahun 2014. Sekarang, mari lihat kenyataan bahwa pada periode yang sama, peningkatan tidak hanya terjadi pada PDB, tetapi juga hutang. Sederhanakanlah PDB naik 10 ribu trilyun, dan hutangnya naik 5,2 ribu trilyun (dari 2.600 trilyun jadi 7.800 trilyun; datanya bisa Anda ambil dari file pada tautan ini atau baca di sini). Itu sama sekali tidak mengatakan bahwa kita untung 5 ribu trilyun rupiah!

Perlu dipertimbangkan kurs dollar di tahun 2014 dan 2023. Demi mudahnya, katakanlah rerata kurs dollar pada tahun 2014 adalah 12.000 rupiah dan pada tahun 2023 jadi 15.000 rupiah. Ada kenaikan tiga ribu rupiah. Itu berarti nilai tukar rupiah terhadap dollar terdepresiasi atau turun sebesar 25% (tiga ribu dari 12.000).  Jadi, kalau dibilang PDB naik dari 40-an juta ke 75 juta, itu tak berarti naik 30-an juta; paling-paling ya naik 15-an juta (75 juta dikurangi 25% dari 75 juta).

Dengan kata lain, pemerintah boleh bilang bahwa pertumbuhan ekonomi tahun anu besarnya 5%, tetapi mari lihat persentase itu dengan mempertimbangkan nilai tukar rupiah. Kalau nilainya merosot terus, ya berarti gak beneran 5%. Runyamnya, kalau dari tahun ke tahun pertumbuhannya gak mengalami peningkatan dan rupiah terdepresiasi terus, itu bisa berarti bansos terus menerus ditambah. Bisa jadi, impor beras juga mesti ditambah. Yang untung ya mafia impor beras, petaninya gigit jari; ngapain bertani, jal? Akibatnya, pasokan beras lokal tidak akan memenuhi kebutuhan nasional, dan itu semakin jadi alasan untuk impor beras supaya bisa kasih bansos.

Sejak kecil saya biasa menerima bansos, entah itu pakaian bekas atau beasiswa; gak ada malu-malunya sedikit pun karena memang saya gak mampu beli baju baru dan butuh subsidi untuk bersekolah di lembaga pendidikan swasta. Yang harusnya malu ya ortu saya, karena mereka tak sanggup memenuhi kebutuhan pokok saya; tapi mungkin mereka sudah tak punya malu juga sih wkwkwkwk.
Baru ketika saya melihat soal ini dalam perspektif yang lebih luas, saya malu, bukan untuk diri saya sendiri, melainkan ternyata negara saya memelihara kemiskinan sebagai tameng kekuasaan.

Tulisan ini saya bikin beberapa waktu setelah pilpres dan baru saya tuntaskan setelah sekian waktu pasca dollar mencapai 16 ribu, hanya untuk meyakinkan diri saya pada apa yang diprediksi pelaku pasar. Betul, semakin runyamlah program populis itu, dan saya tetap punya sikap sama baik sebelum maupun setelah pilpres, siapa pun presidennya, mbok sudahlah berhenti tipu-tipu rakyat jelantah. Bahwa sebagian besar warga setuju program makan siang gratis, okelah. Setuju atau tidak, itu kan basisnya argumentasi tertentu dan kalau setuju pun tidak otomatis mampu merealisasikannya.

Jadi, kalau ruang fiskal sudah sedemikian sempit karena beban hutang negara, apakah tidak lebih baik tunda atau bahkan hapus saja program populis yang semakin mempersempit ruang fiskal dan rentan moral hazard itu?
Sudah kadung bin telanjur janji je, Rom!
Halah, lha wong janji di atas Kitab S
uci saja bisa dipret doang, mosok janji gratis maksi dibela-belain sampai mati?

Tapi ya mboh ding, mungkin sebagian penguasa lebih malu mengingkari janji kampanye daripada mengingkari syahadat atau credo, yang tak lain adalah komitmen bagi mereka yang terpinggir, terabaikan, tertindas, dan semacamnya. Komitmen macam begini tidak memperdaya kaum miskin, tetapi memberdayakan mereka supaya mampu berdikari…
Mau berdikari gimana sih, Rom, wong sejak abad lalu ya impor beras untuk negeri gemah ripah loh jinawi ini jalan terus?
Lha ya mboh, wis… Malu aku; mungkin malunya baru ilang kalo ikut nyalon pilkada DKI bersama keponakan….

Previous Post
Next Post