Percayalah, sekurang-kurangnya kepada Saya Sasaki Shiraishi atau Michael Walzer, mengenai aneka bahasa kosong yang kita hidupi di negeri ini. Saya beri contoh sederhana mengenai bahasa kosong itu. Seorang driver mengantar juragannya dan di pintu masuk mobil dihentikan petugas. Sebetulnya driver itu tidak tahu menahu tentang acara di tempat yang mereka tuju. Juragannya yang duduk di belakang pun tidak. Hanya saja, kedua orang itu berpakaian sangat rapi dan elegan sehingga ketika ditanya mengenai tujuan mereka masuk ke kompleks hajatan itu, sang driver hanya menjawab, “Saya mengantarkan Bapak….,” tanpa menyebut nama, sambil mengarahkan tangan dengan jempol menunjuk pada juragannya.
Petugas yang punya referensi khusus mengenai kata “Bapak” itu melihat sang juragan, dan meskipun tidak tahu siapa orang itu, dia membiarkan mobil itu masuk tanpa investigasi lebih lanjut.
Begitulah, orang bisa memaknai kata “Bapak” dengan apa pun yang ada di kepalanya dan terhadap sosok yang diberi label “Bapak” itu, ia cuma bisa terbengong-bengong pasrah dan menyerah. Begitu pula nasib Pancasila. Orang bisa omong apa pun mengenainya berdasarkan apa yang ada di kepalanya. Tidak berbeda dari itu, wakil rakyat, pejabat, penguasa, bisa memaknai apa saja terhadap cita-cita luhur yang dengan susah payah dibangun oleh para founders. Apa bahasa kosongnya? “Kepentingan bangsa dan negara”!
Kepada mahasiswa, saya mengajarkan betapa krusialnya aturan permainan dan betapa fundamental nilai etis yang melandasi aturan permainan itu. Jika aturan permainan tak adil, janganlah berharap pembagian rezekinya jadi adil, bahkan meskipun itu berarti Anda dan kerabat Anda mendapat jatah makan siang gratis! Bisa jadi, Anda dapat maksi gratisnya, tetapi duit pemberi maksi itu menumpuk di mana-mana, thanks to kesediaan Anda menerima gratisan!
Persoalannya, mungkinkah aturan permainan yang adil dijalankan oleh penguasa yang korup? Haiya gak mungkinlah yaw! Di tangan penguasa korup, aturan main bisa direvisi sebanyak yang dia mau dengan meyakinkan objek kekuasaannya bahwa yang dia lakukan itu semua demi “kepentingan bangsa dan negara” atau bahasa kosong lainnya.
Anda masih ingat bagaimana HTI dibubarkan? Saya kira, itu keputusan yang menyenangkan sebagian orang yang sudah kemropok dengan aneka polah HTI. Akan tetapi, menyenangkan mayoritas sama sekali tidak identik dengan keadilan. Tambah lagi, emangnya dengan aturan hukum pembubaran HTI, ideologinya kelar gitu? Ya enggaklah yaw.
Saya angkat topi pada niat baik penguasa yang terlihat berpikir keras untuk mengupayakan supaya tak seorang pun di negeri ini kelaparan dan bisa berdiri di atas kaki sendiri. Bukankah itu berarti maksudnya seluruh warga punya daya untuk memenuhi kebutuhan makannya sendiri? Ha kok malah mau dikasih makan gratis? Apakah ini bukan semacam Joko Sembung?
Di situ, “kepentingan bangsa dan negara” tak terhubung dengan keadilan sosial. Saya percaya, tanpa mengutak-atik APBN pun, program maksi gratis bisa dilakukan tanpa menunggu tahapan mulai dari 3T; langsunglah kasih makan gratis untuk katakanlah 25 juta warga miskin. Duitnya dari mana? Ya dari ngemplang segelintir orang yang harta kekayaannya ratusan trilyun toh yaw!
Lah, ya gak adil dong, Rom!
Trus, apa fakta segelintir orang berharta ratusan trilyun dan jauh lebih banyak orang yang bertahan hidup dari recehan itu adil?
Ya itu kan salah mereka sendiri: malas, tidak punya inisiatif, tidak berusaha, tidak tertib, tidak disiplin, mabuk-mabukan, judi…
Lha emangnya kesalahan mereka itu dah dari sononya alias setelan pabriknya gitu? Ada gitu orang lahir njuk hobi mabuk dan judi?
Artinya, karakter mereka jelaslah dipengaruhi oleh lingkungan, dan bagaimana lingkungan itu berjalan tentulah bergantung kultur yang akhirnya berujung pada aturan permainan hidup mereka. Alhasil, kalau mau bicara adil atau tidak, jangan lihat keadaan orang per orang dan membanding-bandingkannya, melainkan lihatlah bagaimana aturan permainannya dan bagaimana aturan permainan itu dibikin.
Kalau dibikinnya saja sudah lewat prosedur yang tidak fair, jangan harap keadilan tak terjerembab sebagai bahasa kosong. Belum lagi, bisa saja yang sudah baik-baik dibikin malah diakali. Saya tidak tahu apakah Anda kemropok [bahasa Inggrisnya kenapa jadi crackers alias kerupuk gitu ya?] membaca reportase berikut ini: Gerak Senyap Revisi UU MK. Belum selesai juga rupanya dengan utak-utik MK.
