Dasi

Published by

on

Anda kiranya tahu istilah white collar crime (kejahatan kerah putih), yang tampaknya diperkenalkan Hazel Croall sebagai tindak kejahatan kelas sosial ekonomi atas yang punya jabatan publik. Jenis kejahatan ini dilakukan tanpa kekerasan fisik. Cukuplah dengan bikin atau ganti aturan atau memanfaatkan orang dalam, main gelap-gelapan, korupsi, suap-suapan, ngemplang anggaran belanja, dan seterusnya. Tampaknya, kejahatan ini sering diabaikan dibandingkan dengan bentuk kejahatan yang lebih tradisional (yang memakai kekerasan fisik, entah bersenjata atau tangan kosong), meskipun memiliki dampak sosio-ekonomi yang signifikan.

Foto di atas tidak saya maksudkan sebagai contoh pelaku white collar crime. Mari perhatikan dan temukan secara cepat hal apa yang mencolok pada karakter-karakter yang ada dalam foto itu. Anda tidak perlu tahu bahwa yang berpose duduk di depan sendiri itu bernama El*n Mus* dan mereka yang berdiri di belakangnya itu adalah para pejabat negeri Kokononohaha.

Akan tetapi, mungkin ada baiknya kalau Anda tahu bahwa yang duduk di depan itu adalah pedagang produk yang namanya mengingatkan saya pada seni tradisional Indramayu, Jawa Barat. Pedagang kelas dunia ini tak berdasi, dan rupanya dia ada urusan dengan pejabat Kokononohaha tadi. Yang menarik saya ialah pedagang ini tak berdasi dan pejabatnya berdasi semua. Posisi pedagang di depan itu seakan memberi sketsa capitalocene yang beberapa waktu lalu saya singgung. Ini bukan lagi kongkalikong kapital dan penguasa politik, melainkan bahwa kekuasaan politik itu disetir oleh kepentingan dagang pelipatgandaan kapital.

Lha mengapa jadi sinis terhadap kapital, bukankah ujung-ujungnya semua orang butuh duit, bahkan termasuk untuk ngetik tulisan ini? Betul, bukan kapital yang jadi soal, melainkan penumpukannya. Begitu juga halnya, kekuasaan bukanlah persoalannya, melainkan eksekusi timpangnya yang tanpa kontrol. Jadi, kalau tulisan ini dianggap sinis, objeknya bukan kapital dan kekuasaan, melainkan bahwa kekuasaan mereka yang sumringah berdasi dan berjajar di belakang pedagang kelilink tanpa dasi itu bisa betul-betul merepresentasikan money politics.

Kalau betul begitu, jangan berharap ada raja bijaksana yang bertahan. Yang terjadi adalah seperti sudah menimpa bangsa Israel kuno, ketika Salomo, yang kebijaksanaannya tak tertandingi oleh permusyawaratan/perwakilan, akhirnya korup juga dan amanahnya tak lagi legitimate persis karena Allah diubahnya jadi ilah. Kalau money politics itu jadi rahasia umum, naiflah berharap bahwa rasa dan nilai keadilan dijunjung tinggi.

Tentu saja, seperti tampak dalam foto pejabat sumringah berdasi, semua ilusi mesti dipertontonkan supaya rakyat jelantah taunya baik-baik saja; aneka kesulitan itu adalah cobaan; aneka perubahan aturan impor, aturan kerja, aturan mahkamah, aturan usia, dan sebagainya itu demi kepentingan rakyat dong. Bisa jadi, untuk aneka omong kosong seperti itulah mereka mendapat bayaran yang dipungut dari rakyat jelantah. Ironis memang, tetapi begitulah tragedi kehidupan. 

Andaikan dasi-dasi itu bisa bersaksi apa yang dipikirkan dan dilakukan penggunanya dengan segala kemunafikannya…

Previous Post
Next Post