Agama Iyup

Published by

on

Kata “iyup” dalam bahasa Jawa berarti teduh, dan jika konsonan kedua dihilangkan, Anda tetap bisa melafalkan “iyup” meskipun tulisannya IUP, yang bisa berarti Izin Usaha Pertambangan. Siapa sih tak senang diberi kondisi teduh alias IUP? Kerennya, karena negeri Kokononohaha bertipe presidensial, bisa saja presiden bikin peraturan yang entah bagaimana gak cocok dengan semangat Undang-Undangnya dan belakangan ini, IUP jadi polemik lantaran presiden memberikan prioritas (tanpa lelang bo‘!) kepada ormas keagamaan, mungkin demi partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan; entah keadilan untuk siapa. 

Saya teringat pengalaman tujuh tahun sebagai anggota steering committee untuk pertemuan kaum muda se-Asia di Yogyakarta. Sebetulnya saya ngeri juga dengan anggaran yang bermilyar-milyar rupiah, tetapi memang begitulah hitungan realistisnya. Persis pada bulan ini, masih ada kekurangan dana yang sangat banyak dan pada waktu itu ada tawaran donasi dari lembaga elit negeri ini dan besar donasi itu sudah langsung menutup kekurangan, bahkan bisa surplus. Artinya, tak perlulah kami banting tulang untuk mencari dana.

Akan tetapi, setelah kami simak baik-baik bagaimana skema donasi itu diberikan, mengertilah kami bahwa ini bukanlah murni bantuan, melainkan modus moral hazard. Ya, pihak donatur menentukan hotel dan mereka sendiri yang akan melobi hotel yang akan kami pakai untuk menampung ribuan peserta. Saya tak memiliki sedikit pun keraguan untuk langsung menolak donasi itu. Syukurlah, seluruh anggota steering committee juga bersikap sama. Risiko di depan mata: panitia usaha dana mesti lebih kencang lagi banting tulang.

Saya berharap ormas keagamaan punya sikap yang sama, bahkan meskipun punya divisi bisnis yang tepercaya; tapi… siapa sih yang tak tergiur dengan kondisi teduh untuk dapat cuan milyaran atau trilyunan rupiah? Siapa sih yang tak berhitung-hitung untuk mempertahankan status quo atau menghindari konflik? Mungkin kurang dari 16% dari diri kita masing-masing. Mungkin, mungkin, mungkin.
Pikiran saya melayang pada kelompok Saduki yang hidup pada masa Yesus sekitar dua ribu tahun lalu. Kelompok ini dipercaya mengelola Bait Allah di Yerusalem, pusat keagamaan Yahudi. Yes, mereka bukan rakyat jelantah, melainkan ruling class yang makmur dan, karenanya, mempertahankan status quo mereka dengan memelihara hubungan baik dengan imperialis Romawi. Tak mengherankan, dari kelompok ini muncul imam besar, dengan privilese luar biasa, dan mereka punya suara mayoritas di mahkamah agung.

Dengan status pusat keagamaan itu, kaum Saduki ini juga bergelimang privilese politik dan ekonomi, dan rakyat jelantah tak akan berani macam-macam dengan mereka tanpa backingan kuat dari ormas lain. Menariknya, kelompok Saduki ini berseteru dengan kelompok Farisi dan poin perseteruan mereka justru ada di ranah kepercayaan religius. Betul, kelompok Saduki ini tak bersepakat dengan kaum Farisi yang memegang teguh keyakinan pada dunia akhirat.

Alhasil, pun dalam privilese mereka mengatur Bait Allah, mereka tak menaruh kepedulian pada perkara semacam kebangkitan badan atau hidup kekal. Hidup ini ya kini dan di sini, tak ada hal yang bisa dibawa sebagai sangu. Jadi, sehabis-habisnyalah nikmati hidup ini. Yang penting, peliharalah kemegahan Bait Allah dengan aneka pungutan wajib dan sukarela; dan sebagian (besar) darinya masuk kantung mereka dan makmurlah hidup mereka sebagai penyamun religius. Jadi, berbau-bau keagamaan rupanya tidak menjamin orang percaya pada nilai agama ya?

Seperti juga terjadi sekarang, uang haram itu seakan-akan jadi halal dengan dicuci untuk membangun tempat ibadah dan sekolah, misalnya. Mungkin karena moral compass yang keblinger oleh mitos Robin Hood, orang menghalalkan segala cara dengan dalih tujuan mulia; lupa bahwa kemunafikan itu justru menggembar-gemborkan tujuan mulia. Mana ada orang munafik meyakini tujuannya jahat atau jelek? Kemunafikan itu selalu membawa-bawa kebaikan dengan segala labelnya: keadilan, kemajuan, ketahanan pangan, pemerataan, Pancasila, NKRI, dan sebagainya. Soal ini mungkin bisa paralel dengan posting Dasi beberapa waktu lalu.

Saya mengenal istilah SARA sejak kecil dan itu betul-betul jadi perkara sensitif sehingga negara mesti bolak-balik mengingatkan juga lewat perangkat hukum supaya warga tidak memicu konflik berbau SARA; dan sekarang pemerintah memberi prioritas iyup dengan aroma SARA. Piye, jal?

Imajinasi saya melayang pada para penganut agama tradisional yang dalam praktiknya sangat santun terhadap alam tetapi jelas tak punya ormas. Mereka ini bisa tersepak dari bumi subur yang menghidupi mereka karena mereka tak tahu di bawah tempat hidup mereka ada tambang yang jadi bahan tarik menarik untuk peringatan 17 Agustus.

Jika Anda anggota ormas keagamaan, usul saya, fokuslah bukan pada sumber daya alam, melainkan pada sumber daya manusia. Alam itu, biarlah ditangani negara; Anda menata manusianya supaya pengelolaan SDA itu tidak menginjak-injak kedaulatan tanah, hutan, lingkungan, dan manusianya. Kalau ormas Anda punya divisi bisnis, kembangkanlah bisnis yang membuat semakin banyak manusia jadi manusia bermartabat dalam mengelola alam. Misalnya, lewat aneka produk kreatif atau agroindustri, yang tak perlu berarti terpaku pada pertanian skala besar ala monokultur; detailnya, Anda lebih paham daripada saya.

Previous Post
Next Post