I K N

Published by

on

“Ini mungkin penistaan terbesar dalam peradaban kita. Penghancuran waktu, fantasi, keindahan, dan seni. Kita percaya bahwa untuk membuat meja, kayu saja sudah cukup, tapi tak berani mengakui bahwa untuk membuat meja dibutuhkan bunga, seakan-akan itu hanyalah pekerjaan penyair!” Begitu kiranya refleksi seorang uskup bernama Tonino Bello. Kalau Anda mau melanjutkannya dengan refleksi artis, saya kutipkan lirik bikinan Sergio (baca: serjo) Endrigo di sini:

‘Tuk membuat meja, perlulah kayu.
‘Tuk buat kayu, diperlukan pohon.
‘Tuk bikin pohon, kita perlu benih.
‘Tuk buat benih, perlulah buah.
‘Tuk bikin buah, perlulah bunga.
Perlulah bunga. Perlulah bunga.
‘Tuk membuat meja, perlulah bunga (seluruh bait diulang).

‘Tuk bikin bunga, perlulah ranting.
‘Tuk buat ranting, diperlukan pohon.
‘Tuk bikin pohon, kita butuh hutan.
‘Tuk buat hutan, perlulah gunung.
‘Tuk bikin gunung, perlulah tanah.
‘Tuk buat tanah, perlulah bunga.
‘Tuk bikin semua, perlulah bunga (seluruh bait diulang).

‘Tuk membuat meja, perlulah kayu.
‘Tuk buat kayu, diperlukan pohon.
‘Tuk bikin pohon, kita perlu benih.
‘Tuk buat benih, perlulah buah.
‘Tuk bikin buah, perlulah bunga.
Perlulah bunga. Perlulah bunga.
‘Tuk bikin semua, perlulah bunga (6x).

Kalau Anda mau lihat artisnya dan mendengarkan lagunya, bisa klik tautan ini. Tentu saja, lirik lagu itu tidak dibuat untuk pelajaran logika. Itu adalah lagu anak-anak yang cocok dipakai untuk pelajaran bahasa Italia. Akan tetapi, yang pantas digarisbawahi ialah pengantar lirik lagu tersebut: Le cose d’ogni giorno raccontano segreti a chi le sa guardare ed ascoltare. Mesin penerjemah mengatakan begini: Hal-hal sehari-hari mengungkapkan rahasia bagi mereka yang tahu cara melihat dan mendengarkannya.

Ya, yang tidak punya cara melihat dan mendengarkan hal sehari-hari ini hanya akan berhenti pada kenyataan bahwa bikin meja itu perkara tukang menyerut atau mengamplas potongan-potongan kayu dan membentuknya sebagai aneka meja. Ia seakan lupa bahwa dalam diri si kayu itu ada sejarah keindahan hidup yang direpresentasikan oleh bunganya.

Abai terhadap sejarah keindahan hidup itulah yang dalam istilah politik sekitar sepuluh tahun lalu hendak dibongkar dengan slogan revolusi mental. Betul, calon pemimpin saat itu melihat bahwa akar persoalan negeri ini melekat pada mentalitas kaum terjajah sekaligus penjajah yang dirangkum dengan tiga kata kunci: Korupsi, Kolusi, Nepotisme. Selama mentalitas itu tak direvolusi, keindahan hidup tak akan lebih dari sekadar kosmetik, dan hidup orang-orangnya hanyalah urusan berburu rente dari aneka proyek nasional, entah pertambangan, pertanian, infrastruktur, perhutanan, dan sebagainya.

Bisa dimengerti, dalam kelindanan politik-ekonomi-agama, manusia-manusia tamak akan bersembunyi di balik birokrasi dan slogan keadilan, pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, proyek strategis, kemajuan, pemberdayaan ekonomi lemah, dan seterusnya. Ujung-ujungnya, bukan keindahan hidup yang dipertontonkan, melainkan ketimpangan, dan tebusan ketimpangan itu ‘murah’ sekali; bisa dengan label Corporate Social Responsibility: beri saja mereka duit milyaran rupiah, nanti kan diam; beri saja konsesi tambang, nanti kan jinak; kasih saja gratifikasi, nanti kan gak enak dia untuk kasih kritik.

Begitulah seterusnya, sehingga revolusi mental jadi timpang. Rencananya keren, pelaksanaannya jadi ikon ketimpangan. Ikon ketimpangan itu sudah saya tengarai sejak kereta peluru digembar-gemborkan untuk jarak (142 km) kurang dari separuh kecepatan maksimumnya (350 km/jam). Saya sudah singgung dalam posting Wooosht. Hasilnya bagus, membanggakan sebagian orang, tetapi prosesnya tidaklah indah karena ketimpangan antara rencana dan pelaksanaannya.

Belakangan, “All Eyes on Papua” juga adalah contoh ikon ketimpangan negeri ini. Sekian puluh tahun Papua tergabung dalam NKRI dengan proses yang kontroversial, jawaban atas problem di sana selalu berupa pendekatan keamanan. Lebih halus sedikit, pendekatannya diwujudkan dalam pembangunan infrastruktur, yang tentulah penting, tetapi kemegahan infrastruktur tidak menyiratkan keindahan prosesnya.

Ikon ketimpangan negeri ini seolah jadi ikon kebiasaan ngemplang di segala lapisan; bukan perkara ngemplang cuan atau tanah belaka, melainkan, seperti disampaikan Tonino Bello, ngemplang waktu, fantasi, keindahan, dan seni. Kalau begitu, mungkin baik juga ikon-ikon ini disingkat sebagai IKN. 

Previous Post
Next Post