Andai saja BUMN yang memakai nama Garuda itu dikelola dengan spirit damkar, mungkin ia tak butuh suntikan dana dari saya. Saya rutin membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan karena iuran itu dipotongkan dari gaji, hampir seratus ribu rupiah. Pikiran saya damai, tenang, sentausa, sampai bulan lalu ditanyai rekening bank BUMN. Lah, selama ini bertahun-tahun bayar iuran BPJS TK gak ada persoalan, dan belum pernah juga saya klaim, ha kok malah diminta bikin rekening bank BUMN. Buka rekening paling tidak butuh 100 ribu dan kalau ada 10 juta orang bikin rekening BUMN apakah itu tidak berarti satu trilyun? Kalau jebulnya peserta aktif BPJS TK itu 40 juta dan iurannya 100 ribu perbulan, apa itu tidak berarti empat trilyun per bulan? Uenak kan ngurus BUMN tekor terus dan toh dibayari jutaan dermawan pemilik akun bank BUMN?
Tapi sudahlah, saya mau cerita saja beberapa bulan lalu kami kehilangan Chiki, salah satu anjing yang entah kesambet apa masuk ke ruang makan dan tampaknya ia penasaran dengan racun tikus. Padahal, racun tikus itu bukan simbol kejengkelan penghuni rumah terhadap Chiki, melainkan terhadap tikus yang kami sendiri tak berhasil mengidentifikasi namanya. Belum sempat kami kasih nama, tikus-tikus itu ngibrit entah ke mana. Nah, Chiki rupanya kesakitan karena racun tikus itu dan dia guling-guling, lari ke sana kemari dan berujung pada masuk lubang pembuangan air ke jalan raya. Celakanya, lubang pembuangan air ini hanyalah jalan satu arah sehingga Chiki tak bisa putar balik dan kami pun kesulitan mengambil Chiki yang lemas di saluran air itu.
Damkar datang dengan mobil gagah mereka. Memang karena dipanggil, bukan kek Superman yang tahu di mana posisi Chiki lemas terjepit. Malam hari. Kami menyediakan minum dan kudapan seadanya sementara mereka bekerja keras untuk membobol saluran dari arah selokan jalan raya. Akhirnya, para petugas damkar berhasil mengeluarkan Chiki, sudah dalam kondisi meninggal dunia, yang artinya hanya bahwa hidupnya diubah, bukan dilenyapkan. Ketika kepala rumah tangga kami menyodorkan amplop, yang tentu saja berisi cuan, petugas damkar secara kompak menolak. Disodorkan sekali, ditolak. Disodorkan lagi, ditolak lagi. Akhirnya, pada kali ketiga, amplop itu dimasukkan kembali ke saku celana kepala rumah tangga kami. Mungkin kalau disodorkan tiga kali, petugas damkar itu akan luluh juga kasihan pada pengurus rumah tangga kami yang memelas.
Tapi, tentu itu bercanda saja. Mereka bilang, sudah ada anggarannya, dan ‘gratifikasi’ diterima sejauh menunjang kerja keras mereka. Di medsos dapat Anda jumpai kisah heroik petugas damkar membantu orang yang sangat repot, dari memindahkan pot sampai menjadi wali murid mengambil rapot; dari menyelamatkan nyawa satwa dan manusia sampai menjadi teman curhat; buanyak wis pokokmen.
Sekali lagi, andai saja para pengelola BUMN atau aparat negara punya nyali, semangat, concern, mentalitas seperti para petugas damkar nan heroik itu…..
Entah sampai kapan kita hanya bisa berandai-andai…
Mungkin sampai sadar bahwa ketidakadilan memang harus dilawan… Mengenang kawan ’98 yang hidupnya telah berubah, bukan dilenyapkan. Semoga damai seluas-luasnya menyertaimu, Bro. Salam buat Abdullah, kalau kau kenal, itu pendahulumu. Amin.
