Affan

Published by

on

Sekali lagi, karena berhubungan dengan tuntutan pekerjaan, saya tak kuasa menahan niat curcol berkenaan dengan ojol. Tak sampai hati saya memajang wajah Affan, menatap fotonya pun tak sanggup bertahan lebih dari satu detik. Masih begitu belia, menjadi tulang punggung keluarga, tanpa jaminan kerja, tutup usia karena unjuk rasa terhadap kinerja negaranya.

Ada dua pengalaman yang mau saya sodorkan. Pertama, jika saya memakai jasa ojol, sebisa mungkin saya mencari tarif hemat dengan harapan sesampainya di tempat tujuan saya bisa memberi tips yang nilainya membuat tarif hemat jadi sepadan dengan jika saya memakai tarif reguler tanpa tips. Jadi, jika tarif reguler 24 ribu dan tarif hemat 9 ribu, saya beri tips kepada pengemudinya 15 ribu. Memang ada risiko bahwa orderan saya dibatalkan setelah saya menunggu sekian lama dan niat baik saya raib ditelan waktu. Belakangan, sodara saya memberi contekan kepada saya untuk memberi tips dengan uang tunai, bukan lewat aplikasi.

Kedua, di kantor saya datang sekian banyak pengunjung yang terhubung dengan profesi (kalau ini bisa disebut profesi) ojol: dirinya sendiri atau orang tuanya mencari nafkah dengan modal kendaraan kredit. Tujuan mereka mirip: meminta keringanan biaya kuliah atau mencari beasiswa. Pada momen seperti itu, saya hanya bisa meronta dalam hati: andai saja saya anggota DPR dengan tunjangan rumah 50 juta! Andai saja kampus saya bekerja ini kampus negeri dengan subsidi negara!

Saya sadar sudah sejak lama bahwa kondisi kita tidak baik-baik saja untuk perkara lowongan pekerjaan (dan perkara lain juga sih); tambah lagi dengan dampak pandemi, dan, mungkin yang terparah, moral hazard teman korupsi ada di mana-mana. Jika setiap orang datang ke tempat saya dan minta keringanan biaya kuliah dan saya mesti mengabulkannya, kok jadi seperti menanggung kelalaian negara yang gagal menata negerinya ya?

Affan, bukan satu-satunya simbol kegagalan negara membangun sistem berbasis data dan riset karena di sana-sini kepentingan kekuasaan didesakkan. Bagaimana mungkin atas nama perkembangan teknologi, pendapatan driver ojol, yang memiliki (mungkin dengan cara kredit) seluruh alat produksi jasanya hanya menerima 25% dari tarif yang dibayarkan pengguna jasanya? Jangan-jangan, yang 75% itu pergi ke #asudahlah.

Affan, di balik wajah innocent-mu, semoga semakin banyak warga NKRI yang melihat ironi kebablasen di negeri ini: tutur kata tak simpatik yang melukai kerasnya hidup orang kebanyakan, joged-joged asoi di atas kesulitan mereka yang gaji pokoknya pun tak jauh dari upah minimum, budaya minta maaf yang tak terhubung dengan tanggung jawab untuk mundur dari jabatan karena tak bisa menjalankan amanah, dan seterusnya.

Previous Post
Next Post