Topik Florence dalam minggu ini memang menaikkan page view situs atau blog yang mengulasnya. Saya sendiri baru tersadar bahwa tag Florence ternyata bercokol di baris teratas. Padahal, selama tujuh bulan ini selalu dihuni Daily Reflection karena mayoritas posting saya letakkan dalam kategori itu dan posting-posting tentang Florence sendiri tidak sampai membuat booming, bahkan hanya separuh jumlah klik dari posting teratas blog ini.
Hari ini tampaknya tak ada berita Florence di media nasional dan mungkin ada gunanya dalam masa cooling down ini, saya omongkan hal-hal sepele. Beginilah kisahnya:
Sedangkan berikut ini screenshot dugaan orang yang ada di TKP:
Ini sedikit beberapa screenshot yang saya sendiri tak bisa melakukan verifikasi apakah ungkapan ini memang betul dilontarkan oleh Florence sendiri atau bukan.

Seandainya teks-teks itu memang ditulis oleh Florence sendiri, rupanya pernyataan bernada miring terhadap Jogja (dan warganya) tidak hanya sekali dua kali dilontarkan. Barangkali memang benar pernyataan emosional Florence beberapa hari yang lalu adalah muara dari kekesalannya yang mendalam terhadap apa saja yang berkenaan dengan Jogja. Satu-satunya yang dihargainya adalah UGM, yang adalah bagian dari identitas dirinya.
Setelah ada protes spontan (?) dari beberapa pihak yang mengklaim diri sebagai representasi warga Jogja, dan Florence sendiri mengalami bullying di dunia virtual beserta demo di dekat kompleks UGM, Florence membuat pernyataan maaf.
Meskipun dalam pernyataan maafnya masih ada bau-bau mencari kambing hitam, yang berarti kurang rendah hati mengakui bahwa pemicunya adalah dirinya sendiri (andaikan isi Path miliknya tidak ada yang keliru, mau disebarkan ke bulan pun tetap tidak ada masalah), muncul gerakan untuk menerima kesalahan Florence dan tak perlu memprosesnya ke ranah pidana. Bahkan setelah hanya dikenakan wajib lapor pun, petisi pembebasan Florence terus bertambah.
Ada yang luput dari perhatian saya, yaitu screenshot yang berikut ini:
Saya andaikan saja ini memang dari Florence, dan saya menduga Florence memang cerdas. Betapapun ungkapannya begitu emosional dan ceroboh dan berbau egoistik individualis, Florence menangkap sesuatu yang tak beres di tanah Jogja. Apa itu, saya tak tahu. Kadang outsider bisa melihat persoalan secara lebih baik daripada insider yang tak punya kemampuan untuk mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Barangkali kalau Florence menuntut ilmu di Surabaya pun, dia bisa membaui ketidakberesan dalam struktur kemasyarakatan di Surabaya, sejauh dia merasa menjadi korban!
Begitulah, perubahan progresif barangkali baru terjadi jika orang mempertimbangkan perspektif korban.
Hmmm…. kok jadi ingat Prabowo. Untung ada Pra-lorence…..


You must be logged in to post a comment.