Protes Tuhan? Silakan…

Pada umumnya orang akan minder jika berdebat dengan orang yang reputasinya jauh melampaui prestasi dirinya. Sebaliknya, ia akan lebih percaya diri jika berdebat dengan orang lain yang diketahuinya tidak begitu qualified dalam berdebat.

Kutipan bacaan pertama hari ini, jika tidak dibaca dalam konteks keseluruhan Kitab Ayub, bisa ditangkap sebagai arogansi Allah yang mahakuasa. Ia menekankan kekuasaan dan pengetahuannya yang tak bisa dilampaui oleh manusia. Akan tetapi, kutipan bacaan ini tidak ke arah sana. Allah yang mahakuasa dan mahatahu itu terbuka pada dialog dengan manusia, yang kapasitasnya tentu sangat terbatas.

Di hadapan Allah yang seperti ini, manusia bisa omong apa saja, mendebat, protes, mengkritik Allah, menyampaikan keberatan dan sebagainya. Ia bukan sosok monster yang tak tersentuh. Akan tetapi, dari pihak manusia dituntut keterbukaan (wong Allah aja bersedia dikritik). Keterbukaan terhadap apa? Terhadap kebenaran, juga kalau akhirnya terbukti bahwa apa yang dikeluhkannya itu bukan segala-galanya. Soalnya bukan bahwa yang lemah harus tunduk pada yang kuat. Yang kuat dan yang lemah berjalan dalam koridor kebenaran. Relasi guru-murid, tuan-pembantu, presiden-rakyat, suami-istri, dan lain-lainnya mesti dilandasi roh keterbukaan ini (mungkin menjelaskan A Lifetime Friend).

Tak mengherankan bahwa Yesus mengecam Betsaida dan Khorazim: orang-orangnya tak terbuka pada kebenaran. Kebenaran apa? Allah yang transenden, yang maha segala sifat baik itu, toh hadir juga dalam dunia ini melalui hal-hal yang tak mutlak, yang serba terbatas. Juga melalui para murid yang ditugasi untuk mewartakan kabar gembira kepada orang-orang pada masa itu.


JUMAT BIASA XXVI
Peringatan St. Fransiskus Borgia (SJ)
3 Oktober 2014

Ay 38,1.12-21; 39,36-38
Luk 10,13-16