Setelah Kardinal Bergoglio (baca: bergolyo) terpilih sebagai Paus pengganti Benedictus XVI, ia mengambil nama Fransiskus. Ia dibesarkan dalam tradisi Serikat Yesus dan tentu saja ia mengerti benar sosok Fransiskus dalam kongregasi SY itu. Ada juga yang dengan canda mengusulkan nama Clement, yang mengingatkan pada sosok Paus yang ‘membubarkan’ Serikat Yesus pada tahun 1773. Menjadi jelas bahwa pilihan nama Fransiskus itu pertama-tama mengacu pada sosok Fransiskus dari Asisi yang diperingati Gereja Katolik pada hari ini.
Memang pemilihan nama Paus bersifat politis juga, tetapi kepentingan yang diperjuangkan di situ bukan kepentingan ideologis politik semata. Seandainya saja Kardinal Bergoglio benar-benar memilih nama Clement, dunia bisa dengan mudah melihat Gereja sebagai suatu institusi politis yang sedang menyembuhkan dirinya sendiri dari luka masa lalu (tahun 2014 menjadi peringatan 200 tahun Serikat Yesus dipulihkan dari supresi atau pembubaran). Paus Fransiskus jelas tidak ingin orang semata memandang Gereja sebagai kenyataan politis, tetapi terutama sebagai sebuah kenyataan rohani.
Nama pelindung itu rupanya efektif. Fransiskus Asisi, pada masa hidupnya sebagai anak muda, tentu mendengar beberapa ajaran Injil, tetapi ajaran itu tak memengaruhi hidupnya karena hatinya sudah penuh dengan kekayaan lainnya. Ajaran Injil itu baru efektif ketika Fransiskus Asisi memutuskan untuk melepaskan aneka tambatan hatinya itu, melemparkan dirinya keluar dari kenyamanan dan jaminan hidupnya, lalu membuat tatanan baru yang rupanya lebih membawa kebahagiaan bagi dirinya maupun sesama, terutama yang miskin.
Kalau orang mengerti bagaimana menikmati anggur, ketika gelasnya masih berisi air putih dan disodori anggur, ia tidak akan menerima tuangan anggur pada gelasnya yang berisi air putih itu. Ia menghabiskan dulu air putih itu (atau membuangnya) baru kemudian membiarkan gelasnya diisi anggur.
Papa Francesco menunjukkan bahwa aneka struktur politis di dunia ini perlu dipandang sebagai kenyataan rohani juga: bahwa struktur itu berfungsi untuk mewujudkan gerak roh dalam aneka tatanan duniawi, bukan sebaliknya! Kalau orang terpukau bahwa Paus ‘jajan’ di kantin atau naik bus seperti orang kebanyakan, barangkali itu menjadi indikasi bahwa orang memisahkan kenyataan rohani dari hidup duniawi. Orang terus membuat pemisahan: duniawi jahat – surgawi baik, agama korup – kerohanian penuh, dan sejenisnya.
Apa tidak ada cara pandang yang lebih membebaskan: orang beraktivitas biasa dalam hidup yang serba politis tetapi dalam terang roh yang senantiasa berbagi kebahagiaan surgawi? Konkretnya, pada hari raya Idul Adha memang dibagi-bagikan daging hewan kurban, tetapi bisakah orang menangkap bahwa di balik itu ada kerohanian yang hendak dibagikan juga? Persaudaraan, misalnya.
SABTU BIASA XXVI
Peringatan Wajib St. Fransiskus Asisi
Idul Adha
4 Oktober 2014
Ayb 42,1-3.5-6.12-17
Luk 10,17-24
Categories: Daily Reflection