Praktik Islam Demokratis
Meskipun secara teoretis bisa ditunjukkan relasi positif antara Islam dan demokrasi, tidak selalu demikian halnya jika sisi politik praktis dipertimbangkan. Kadang kala yang lebih menonjol justru syari’ah yang nondemokratis: setidak-tidaknya penghayatan syari’ah itu tak sesuai dengan semangat demokrasi (Ahmad Suaedy, op.cit.). Pada taraf implementasi, biasanya pertimbangan pragmatis akan lebih banyak berperan. Usaha teoretis untuk secara murni menghayati Islam bisa direduksi sebagai kegiatan politik belaka. Padahal, sebagaimana ditekankan sebagai prinsip tawhid, kegiatan politik sebenarnya menjadi manifestasi teologi Islam (Hamid Enayat, 1982).
Manifestasi tersebut tak dapat dibakukan dalam satu wadah. Sejarah Indonesia menyaksikan bahwa Islam di Indonesia memiliki kekayaan wadah yang seringkali oleh pengamat disederhanakan sebagai Islam kultural dan Islam skriptural. Lepas dari polemik penyederhanaan itu, bisa dikatakan bahwa praktik yang dilakukan oleh Islam memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Tentu saja, pertama-tama karena Islam memiliki basis masa yang sangat besar.
Dapat dikatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia bergantung pada soliditas Islam. Kalaupun dimasukkkan juga unsur militer, militer pun (karena sebagai angkatan bersenjata secara teoretis tidak memiliki legitimasi untuk suatu demokrasi) akan bergantung juga pada gerak Islam. Kalau demikian, tidak dapat tidak Islam harus menjadi promotor bagi perjuangan demokrasi. Akan tetapi, peran ini tidak akan efektif selama Islam tidak membuka dialog dengan kekuatan politik lainnya. Karena itu, Islam tetap dituntut menjadi Islam yang demokratis.
Dalam praktik sehari-hari, agaknya Islam demokratis bukanlah realitas semu di kalangan grass-root. Nilai-nilai demokratis sudah dihayati oleh kelompok besar Islam. Kalau pada kenyataannya suasana demokrasi itu tidak terjadi dalam percaturan politik di Indonesia, itu berarti bahwa di tingkat elitlah Islam mengalami kemacetan (Arief Afandi, op.cit.). Elit Islam tidak perlu dibatasi pada pimpinan di pemerintahan, karena termasuk juga dalam kelompok ini para kaum terpelajar yang sedang kuliah di universitas negri, pers, maupun tokoh (pemimpin) umat lokal.
Dengan mengandaikan bahwa budaya politik demokratis (bukan sekedar penghayatan nilai-nilai demokrasi, melainkan juga soal institusi) lahir dari atas (Franz Magnis-Suseno, 1998) kiranya dapatlah ditegaskan perlunya konsolidasi di tingkat elit Islam. Tentu saja, karena begitu ragamnya elit Islam ini, konsolidasi bukanlah sesuatu yang mudah dan cepat dicapai. Konsolidasi itu juga perlu dilakukan justru dengan membangun jaringan lintas agama. Di sini, diperlukanlah suatu dialog antaragama sampai dalam tataran hidup keseharian orang. Dengan begitu, Islam tetap memiliki peluang untuk mewujudkan syari’ah demokratis, sambil sendiri mengembangkan Islam yang demokratis.
Jalan menuju demokrasi bagi Islam di Indonesia adalah jalan yang sangat panjang, yang tidak mungkin ditempuh dengan semangat eksklusif. Karena itu, wanted: Islam inklusif, Islam demokratis.

One response to “Syari’ah Demokratis (3)”
[…] Read more… […]
LikeLike