Belakangan ini, panggung politik menyodorkan sebuah mahkamah kekuasaan, yang alasan keberadaannya sangat klop dengan agenda reformasi. Sayangnya, saya baca, ada yang memberinya label mahkamah keluarga, yang mungkin maksudnya adalah keluarga bangsa Indonesia. Entahlah mau diplintir bagaimana; ini seperti dagelan ala Malam Kreativitas sekolah saya sewaktu SMA dulu.
Malam Kreativitas adalah puncak kegiatan kompetisi aneka ekspresi seni di sekolah. Bayangkanlah, itu dilakukan di sebuah aula tertutup dengan kiri kanannya berjendela kaca pada ketinggian dua meter dari lantai luar aulan. Orang dari luar tak bisa melihat kegiatan di panggung jika tidak memanjat jendela atau berdiri dengan tumpuan kursi atau tangga. Dagelannya, pada zaman itu di televisi ada acara kuis tebak wajah dengan mulai menyingkap foto mata, hidung, atau bibir dari figur publik. Pada puncak MK itu, pembawa acara mengundang seluruh hadirin di dalam aula untuk melihat ke arah jendela sebelah kiri. Nota bene, jendela aula itu panjangnya sekitar 20-an meter. Pembawa acara memberi tahu bawa wajah akan ditampilkan pada jendela sebelah kiri itu.
Tentu saja, saya juga tidak berpikir bahwa pada jendela itu akan dimunculkan mata dulu, kemudian hidung, dan seterusnya. Tidak ada layar TV besar di jendela itu, dan kami semua penasaran dan tiba-tiba mak jegagik muncul sekelebat wajah di luar jendela. Mata saya yang sedemikian awas pun hanya dapat menangkap sekelebatan glundhung pringis (dulu ada mitos dari atas pohon kelapa bisa jatuh kepala orang menggelundung dan meringis, ngeri gak sih). Penonton berteriak supaya penampilan wajah diulangi lagi, dan pembawa acara mengabulkannya. Kami fokus ke tempat si glundhung pringis tadi melompat, tetapi jebulnya dia mringis di lokasi lain di jendela kiri itu sehingga tetaplah sulit menebak. Ada yang teriak: kebo, sapi, kancil, celeng, dan sebagainya. Memang, kami ini laksana penghuni kebun binatang pindahan dari Ragunan dan Gembira Loka.
Itu adalah MK yang lucu, dagelan, menyehatkan. MK yang belakangan ini jadi sorotan menyodorkan dagelan, tetapi dagelan mengerikan, yang jika endingnya melukai rasa keadilan publik, Anda akan mengalami krisis kepercayaan: hukum utama yang fundamental saja bisa dimainkan, bagaimana aturan-aturan lainnya kelak? Kepada siapa rakyat jelantah bisa dapat jaminan hidup tenang?
Bacaan hari ini sangat erat dengan hukum fundamental dalam tradisi Yahudi. Dalam kepercayaan Yahudi, Allah memberikan hukum-Nya kepada Musa dan Musa ini meneruskannya kepada Yoanies, eh… Yosua, yang kemudian menyampaikannya ke pemimpin agama sampai ke para nabi dan nabi-nabi ini meneruskannya ke para ahli kitab yang sebagian darinya adalah kaum Farisi.
Nah, Yesus itu mengikuti Taurat, tetapi rupanya beliau bukan orang yang terima mentah-mentah apa yang disampaikan kaum Farisi. Nasihatnya jelas: ikuti saja nasihat mereka berkenaan dengan Hukum Allah, tak perlu mencontoh perilakunya. Yes, Hukum itu memang dari Allah, tetapi penafsirnya kan orang-orang yang butuh makan minum dan duit juga. Bisa jadi urusan perut dan fulus memicu orang untuk memakai topeng supaya terlihat tulus.
Itu tak perlu dipersempit pada ruang kesalehan agama karena pada kenyataannya agama juga bisa dipakai sebagai topeng. Memang, dari perilaku kaum Farisi yang disinggung Yesus ini kita bisa pelajari sesuatu: semakin agama disorong-sorongkan dengan arogansi baik dalam aksi maupun hati nan angkuh, semakin nyatalah betapa palsunya tafsiran terhadap agama itu. Maklum, kaum ini membuat rangkuman Taurat dan menempelkannya di dahi dan dada, dengan maksud baik, tetapi sangat rentan flexing alias riya‘. Bukan lagi glorifikasi agama, melainkan pemuliaan diri orang-orangnya.
Bukankah itu bisa terjadi juga dalam ranah politik? Sangat bisa, dan mungkin justru pada ranah itulah glorifikasi kepentingan diri diperlombakan dengan hukum rimba meskipun caranya bisa kelihatan lugu dan santun. Saya sih berharap mentalitas Orde Baru tak dibiarkan membangun dinastinya kembali dan jadi beban untuk generasi mendatang: palak sana sini, jatah ini itu, kutip proyek anu, dst.
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan supaya hati dan budi kami tetap tertambat pada cinta-Mu, pada kemanusiaan-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXXI A/1
5 November 2023
