Hutang

Published by

on

Setiap menjelang akhir tahun, pengelola rumah tempat tinggal saya merancang anggaran pendapatan dan belanja komunitas. Setiap tahun saya dapati bahwa ada selisih rencana pendapatan dan pengeluaran. Pengeluarannya lebih banyak daripada pendapatannya. Ini disebut defisit anggaran, dan setiap tahun mesti ada anggota yang bertanya mengapa bikin anggaran kok malah defisit. Bukankah bikin anggaran itu mestinya jangan sampai besar pasak daripada tiang? Bingung gak sih?

Sebetulnya saya tak tahu menahu perkara anggaran bisa berbentuk defisit, surplus, atau berimbang. Akan tetapi, di situs wakil rakyat negeri ini sudah ada analisis tentang peran positif defisit anggaran dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Mungkin Anda bisa mengunduhnya dari tautan ini. Di situ ditunjukkan tabel berikut ini:
Perbandingan defisit

Data itu mendukung analisis bahwa defisit anggaran justru bisa membantu pertumbuhan ekonomi. Soal bagaimananya, pasti ada bermacam-macam faktor yang saya tak bisa menjelaskannya. Saya cuma bisa membayangkan Anda bermental entrepreneur hanya punya modal seratus ribu, itu juga dari pinjaman, dan berhutang pada saya seratus milyar untuk jangka waktu lima tahun. Dengan begitu, meskipun saya tak mengambil riba, cicilan 20 milyar per tahun tetaplah bikin anggaran Anda defisit.

Pada kenyataannya, karena Anda entrepreneur sungguhan, dalam tahun pertama jebulnya Anda malah mendapatkan outcome positif tak terduga plus efisiensi pengeluaran sehingga profit Anda cukup untuk mengembalikan pinjaman pada tahun kedua. Nah, setelah itu Anda bisa saja bikin struktur anggaran surplus atau berimbang, terserah Anda, saya tak memaksa. Ini kan cuma bayangan saya.

Yang mau saya sampaikan bukan perkara hutang Anda atau negara kita. Amerika saja sebagai negara maju ya masih ngutang. Maka, dulu saya gak ngerti kenapa hutang membengkak jadi bahan untuk demo pemerintah, itu biasa toh, debt trap, gali lubang tutup lubang, sejak Orde Baru dan bahkan Orde Lama memang NKRI butuh utang. Itu juga mengapa Yogyakarta diberi keistimewaan (karena dulu selain menyatakan setia pada RI, juga menyumbangkan duitnya untuk penyelenggaraan negara baru).

Yang mau saya sampaikan masih berkenaan dengan Smart Financing.
Pertama, berilah perhatian lebih pada outcome daripada output sebagai sasaran anggaran Anda. Kalau untuk bikin output (luaran?) butuh 100 milyar dan ternyata perhitungan outcomenya juga 100 milyar, hutang Anda tadi cuma jadi jarahan mereka yang bermain dalam proyek Anda; apalagi kalau mereka korupsi, main mark up harga kain, pasir, genteng, semen dst. Kenyanglah (poli)tikus2 itu, dan Anda tetap berhutang 100 milyar, mungkin malah nambah.

Contoh output itu seperti bandara dengan segala infrastrukturnya. Outcomenya adalah jumlah maskapai pemakai bandara itu. Apa gunanya Anda bikin bandara setiap 100 km plus jalan tol penghubungnya? Biar makin mentereng outputnya dan dikenal dunia? Njuk maskapai mana yang bisa dan mau menyediakan armadanya untuk trayek macam gitu? Kalau jebulnya sepi, itu tidak mengurangi hutang yang mesti dibayar, kan?

Kedua, tentukan besaran bunga hutang tak lebih dari 10% dari pendapatan Anda. Jadi, andaikan Anda punya gaji seturut UMR 2,5 juta. Plis ya, kalau mau kredit hape, motor, panci teflon dan kipas angin, ikhlaskanlah untuk tidak membeli salah satu atau beberapa darinya jika jumlah cicilan per bulan itu bakal melampaui 250 ribu. Otherwise, Anda tidak bisa hidup tanpa jerat hutang!

Skema hidup dalam debt trap itu menguliti martabat pribadi Anda dan mengganti harga diri Anda dengan apa saja yang wang sinawang! Artinya, Anda baru pede kalau tas Anda bermerk anu; Anda baru tenang kalau mobil Anda lebih tinggi ground clearancenya; Anda baru secure jika Anda bisa kasih makan siang gratis #eh.

Ketiga, janganlah jadikan hutang sebagai sumber keuangan Anda. Itu nanti jadi seperti mengemis; bukankah ini pekerjaan haram? Hutang itu berterima jika Anda maksudkan untuk memacu produktivitas (sarana untuk leverage alias cari untung), bukan untuk gaya hidup demi slogan I can’t live without you atau bangga karena banyak temannya berhobi gali lubang tutup lubang, bahkan semua negara masuk dalam debt trap.

Saya tak akan bertele-tele membahas jerat hutang negara di sini supaya tak dianggap menjelek-jelekkan pemerintah. Saya cuma menyodorkan data publik dan Anda bisa menganalisisnya sendiri karena datanya bisa dirunut dari tautan ini. Di situ ada tabel ini:
APBN 2024

Nah, pertanyaan saya: mengapa di situ hanya ditampilkan persentase defisit terhadap PDB (Produk Domestik Bruto)? Kenapa tidak ditunjukkan juga persentase hutang terhadap PNB (Produk Nasional Bruto)?

Mengapa itu saya pertanyakan? Justru karena saya awam yang plonga-plongo mengenai ekonomi makro: bukankah PDB itu bagaikan output sedangkan PNB seperti outcome? CMIIW. PDB itu kan jumlah total perekonomian di suatu negara, entah keuntungannya dimiliki orang setempat atau perusahaan dari luar, bukan?
Nah, apakah tidak malah sepantasnya persentasi defisit anggaran itu dihitung terhadap outcome, yang dalam hal ini adalah si PNB alias total pendapatan yang masuk ke (perusahaan milik) warga negara itu, entah dia kerjanya di dalam negeri atau abroad, kan? Sekali lagi, CMIIW.

Jangan-jangan, kalau persentasi defisit anggaran itu dihitung terhadap PNB (Gross National Product), angkanya jadi lebih dari 10%! Itu berarti…. kalau cuma label ‘tidak smart’ mah mungkin gak gitu problem, tapi siapa yang mesti menanggungnya dan untuk keuntungan siapa, itu yang bikin saya merasa gimana gitu…. Soalnya, ini utang bukan cuma seratus ribu, tapi ratusan trilyun, dan kalau saben taon begitu, yang bermodal makin dapat jarahan untuk foya-foya dari mereka yang hidupnya terkuya-kuya, yang mungkin jauh lebih banyak jumlahnya….  

Previous Post
Next Post