Bongkar

Published by

on

Sifat bawaan Anda dan saya mungkin tidak jauh berbeda dari Yunus, yang sebagian kisahnya diceritakan bacaan pertama hari ini. Pertama, bukannya tidak mungkin bahwa apa yang Anda inginkan itu bertolak belakang dengan apa yang Tuhan berikan, atau ya sebaliknya, Tuhan maunya gimana, Anda maunya tidak gimana. Kedua, bukannya tidak mungkin juga bahwa Anda, seperti Yunus, meskipun menyeru-nyerukan pertobatan, seruan itu didalangi oleh semacam mentalitas “awas lu ye” atau “titenana” kalau kau gak bertobat, bakal kelar hidup lu! Bukankah Anda lebih suka kalau yang jahat itu dipithes saja?

Kerennya, umat Ninive yang diperingatkan Yunus itu jebulnya bertobat dan, canggihnya, Tuhan batal menghukum mereka. Itu seakan mengafirmasi bahwa Tuhan itu suka menghukum jika manusia tidak bertobat. Nah, nabi model begini ini kira-kira juga nongol lagi menjelang Yesus tampil di muka publik. Tak lain dan tak bukan, nabi itu adalah sepupunya sendiri yang bernama Yohanes dengan julukan Pembaptis. Bacaan Injil hari ini memakainya sebagai pengantar, dan kita jadi bisa tahu apa yang membedakan Yesus dari sepupunya yang ditangkap dan dipenjara itu.

Sepintas pewartaannya sama: bertobatlah karena Kerajaan Allah sudah dekat. Akan tetapi, Yesus tentu mikir-mikir juga dong bagaimana sepupunya bekerja sampai akhirnya dipenjara. Apa yang dipelajarinya?

Ya mboh, saya juga gak tau; tapi mari kita selisik asumsi pemahaman kita sendiri saja. Kalau Anda mendengar ungkapan “sudah dekat, sebentar lagi, sedikit lagi”, hampir bisa dipastikan yang ada di kepala Anda ialah soal waktu kronologis yang bisa diukur dengan detik, menit, dan seterusnya; atau juga berkenaan dengan ruang spasial yang bisa diukur dengan penggaris manual atau digital. Iya, kan? Ngaku ajalah.

Frase Kerajaan Allah sudah dekat, sayangnya, tidak dimaksudkan sebagai waktu kronologi atau ruang fisik begitu. “Dekat” atau “sebentar” di situ tak bisa diukur dengan stopwatch, tetapi bergantung pada sikap batin tertentu. Lima menit bagi orang yang seneng-seneng bisa jadi cepat sekali, tetapi bagi yang sedang jengkel jadi lambat sekali. Kerajaan Allah yang sudah dekat itu bukan perkara lima menit atau meter, melainkan bahwa Kerajaan Allah itu sewaktu-waktu bisa ‘disaut’, digapai, diambil, dialami, dst. Apa yang bisa bikin begitu? 

Menurut Yesus, sudah bukan zamannya lagi menakut-nakuti orang dengan membawa-bawa gambaran Allah yang gemar menghukum.
Apa yang beliau buat? Teks hari ini mengisahkan bagaimana Yesus memanggil murid-murid pertamanya. Buat apa? Menjala orang: supaya semakin banyak yang bisa nyaut atau menggapai Kerajaan Allah itu. Mereka mesti membongkar kebiasaan yang dikungkung oleh model hukum menghukum ala Yunus atau Yohanes Pembaptis tadi dan menggantinya dengan cinta yang memerdekakan orang. Ini bukan kata-kata saya: kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang.

Kerajaan Allah itu, rasa saya, maksudnya ya sama dengan yang terus diwartakan oleh Nabi Muhammad: jangan ada ilah selain Allah sendiri yang jadi raja. Itu kiranya yang dimaksud dengan prinsip tawhid, dan Yesus ini mati-matian meyakinkan murid-muridnya dan orang banyak supaya membongkar keyakinan-keyakinan palsu mereka, termasuk ideologi agama yang di tangan orang-orang tertentu bisa mencelakakan.

Pada kenyataannya, di panggung politik bangsa ini, bahkan meskipun prinsip itu digembar-gemborkan, orang cari selamatnya sendiri-sendiri, lupa bahwa yang menyelamatkan itu cuma Allah semata. Alhasil, orang tidak sungguh memikirkan bagaimana bangsa ini mau hidup, melainkan bagaimana supaya bisnisnya aman, proyeknya jalan terus, cuannya makin gede, dan seterusnya. Untuk tipe orang seperti ini, makan gratis tentu saja lebih penting daripada internet gratis.

Yesus pun tidak mungkin memilih internet gratis, wong belum ada internet pada zamannya. Akan tetapi, panggilan para muridnya jelas menunjukkan bahwa Yesus ini hendak berjejaring dan mengundang siapa saja supaya berjejaring sehingga makan gratis itu bukan lagi sekadar kampanye pemilu, melainkan jadi cara hidup mereka yang menyadari bahwa Kerajaan Allah alias prinsip tawhid itu sudah dekat, sedekat orang-orang yang mau menghayatinya: bukan kepentingan pragmatis semata yang dibelanya, melainkan kesinambungan supaya cinta Allah itu tidak dikorup terus menerus atas nama NKRI atau patriotisme atau apa lagi.

Tuhan, mohon rahmat pertobatan untuk mengikuti jalan-Mu supaya Kerajaan-Mu sungguh dekat. Amin.


HARI MINGGU BIASA III B/2
Minggu, 21 Januari 2024

Yun 3,1-5.10
1Kor 7,29-31
Mrk 1,14-20

Posting 2018: Kecanthol Apa?

Previous Post
Next Post