Pernahkah Anda tes DNA yang ada hubungannya dengan kemalasan untuk berubah? Kalau belum, tak perlu juga sih, karena itu hasilnya hampir bisa dipastikan positif kok. Mengubah mentalitas itu susahnya setengah hidup. Kita adalah orang-orang (elo kali’, Rom) yang begitu menemukan hal yang pas, pokoknya terbaik menurut kita, lantas disposisi untuk berubah itu hilang entah ke mana. Akibatnya, yang tadi dianggap paling tepat itu jadi rutin, kebiasaan, ritme yang sama, cara berpakaian, bicara, teman-teman yang itu-itu saja, selera makan, toko langganan, tempat liburan…
Kalau pun bervariasi, variasi itu munculnya dari dorongan untuk salin-rekat itu. Mengubah diri dengan meninggalkan zona nyaman tampaknya bukan bagian dari DNA kita (ye, diulang lagi, DNA lu kali’, Mo). Tapi sik sik sik, bukankah sel kita itu setiap berapa saat berganti? Itu berarti kita tak pernah sama dengan kemarin dong! Ya betul, materinya, tapi pikirannya, kehendaknya, perasaannya, bisa saja kecanthol oleh sesuatu yang lain dan susah mengubahnya.
Loh, gimana sih Mo, bukankah memang orang beriman ya selamanya ber-Tuhan? Dia mesti kecanthol Tuhan dong yang tak berubah sejak dulu, sekarang, dan kelak, bukan? Betul, tetapi kecanthol Tuhan beda halnya dengan kecanthol pikirannya sendiri, ideologinya sendiri, doktrinnya sendiri, dan sebagainya. Yang kenyataannya lebih banyak terjadi ialah bahwa orang kecanthol pikirannya tentang Tuhan daripada sungguh-sungguh kecanthol Tuhan.
Maka dari itu, warta yang disampaikan Yesus hari ini takkan gampang diterima: “Waktunya sudah tiba, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah.” Ada juga orang berperilaku sedemikian sehingga yang lainnya malah mengucapkan ‘tobat tobat’. Warta tadi jelas nuansanya. Bagi mereka yang menantikan keselamatan, waktu penantian sudah usai, ini saatnya membangun keselamatan itu. Caranya? Ya bertobat!
Pertobatan yang dipakai penulis teks hari ini tampaknya beda nuansa dengan tobat yang dimaksudkan dalam kisah Yunus. Markus tidak memaksudkan pertobatan sebagai perubahan perilaku dalam arti moral atau bahkan dalam arti saleh bahwa misalnya dulu orang mabuk-mabukan lantas jadi alim dan rajin beribadat. Yesus tahu benar bahwa pertobatan bukan soal berhenti berbuat jahat dan mulai berbuat baik. Pertobatan yang dimaksudkannya lebih realistis, tetapi juga sangat menantang.
Ya itu tadi, mengubah mentalitas: mengubah cara berpikir, cara memahami, cara menghakimi, yang landasannya ialah kecanthol dengan Tuhan sendiri. Ini Tuhan yang tak pernah bisa dipenjara dalam pikiran seseorang, dan itu mengapa jadi sangat menantang. Begitu orang klaim, ia bisa jadi dalam bahaya mengobjekkan Tuhannya, yang artinya, bukan Tuhan lagi jadinya.
Contoh diberikan Yesus sendiri. Ia tidak mengundang orang untuk sekadar jadi followers. Mereka benar-benar diundang untuk jadi murid dan murid-murid ini tidak dipilih dari antara mereka yang lolos audisi dengan prestasi segudang. Mereka diambil dari lingkungan orang biasa, nelayan, bukan ahli agama. Rasa saya itu lebih profetik juga pada zaman now. Sekolah-sekolah misalnya, pada umumnya memilih anak-anak dengan kualifikasi super untuk mengangkat nama sekolahnya. Ini beda dari sekolah yang saya tahu mengambil kebijakan sebaliknya: memilih anak-anak biasa dan berupaya membuat mereka jadi luar biasa.
Ya Allah, mohon rahmat kesetiaan untuk senantiasa mencari kehendak-Mu dalam hidup kami yang serba biasa. Amin.
HARI MINGGU BIASA III B/2
Minggu, 21 Januari 2018
Yun 3,1-5.10
1Kor 7,29-31
Mrk 1,14-20
Posting 2015: Sementara Nan Abadi
Categories: Daily Reflection