Ini sentimen terhadap pemberitaan pada tautan ini. Poinnya, hak penamaan eksklusif (naming rights) merupakan salah satu bentuk kerja sama PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) dan PT Summarecon yang memberi dampak positif bagi keduanya. Jadi, KCIC menambahkan nama Summarecon pada Stasiun Tegalluar, Bandung, sehingga nama yang terpampang adalah KCIC Stasiun Tegalluar Summarecon. Itu tentu dengan tujuan: mengoptimalkan aset perusahaan.
Proyek ini jelas bukan proyek stand alone, sekadar kereta cepat. Betul, yang digaungkan adalah niat menghadirkan pengalaman transportasi yang lebih baik dan terintegrasi bagi masyarakat. Akan tetapi, sudah bisa dimengerti bahwa itu adalah bisnis pengembangan wilayah yang jelas menguntungkan penghuni kawasan Summarecon Bandung. Siapa mereka? Ya yang punya duit untuk beli lahan di Summarecon Bandung toh ya.
Berita itu seakan menguatkan catatan yang sekitar delapan bulan lalu saya sodorkan: Wooooosht; dan saya mengenang kembali Pak Jonan yang dengan yakin berseberangan dengan presidennya, yang ngebet dengan proyek pertama di Asia Tenggara dan berskema B2B (Business to Business). Tampaknya gak jadi B2B juga dan PT KAI mesti ikut bertanggung jawab bayar pembiayaan proyek ini. Anda dan saya, mungkin saja, pajak yang kita bayar, dipakai untuk membantu KCIC dan Summarecon, bahkan meskipun kita sama sekali tak menikmati faedahnya untuk cepat-cepat dari Jakarta ke Bandung.
Penggemar wang sinawang tak akan melihat persoalannya karena pada kenyataannya proyek itu menimbulkan decak kagum, penggunanya tak perlu jauh-jauh ke Jepang atau Eropa untuk menikmati kereta wes ewes ewes, semua begitu canggih dan membuat masinis lokal bisa upgrade kemampuan mereka.
Imajinasi saya melayang ke sosok Yesus dari Nazareth, yang barangkali juga mengalami masa pembangunan kota metropolitan Sepphoris, beberapa mil dari tempat asalnya.
Kota ini dikenal dengan arsitektur Helenistik, infrastruktur Romawi yang begitu agung, dan keanekaragaman budayanya. Kota ini berfungsi sebagai pusat administrasi dan ekonomi yang signifikan. Memang tidak tersebut dalam Kitab Suci, tetapi kiranya penelitian arkeologi bisa memberi gambaran bahwa Sepphoris ini jadi berpengaruh di daerah tersebut selama masa hidup Yesus.
Melegakannya, seperti para nabi lainnya, Yesus bukan penggemar wang sinawang. Ia lebih gemar mencari cara supaya orang-orang di sekelilingnya bisa jadi orang-orang yang merdeka, bahkan meskipun oligarki kekuasaan terus mengancam. Betul dia tidak berdemo ala mahasiswa, tetapi demo dilakukannya dengan aneka model yang intinya membebaskan orang dari kuasa gelap.
Susahnya, kuasa gelap itu bisa juga mengambil wujud terang benderang, secepat kilat, kelimpahan, kuasa, koalisi gemuk, “semua orang juga begitu”, dan seterusnya. Lebih susah lagi, ia bisa menyambar banyak orang untuk meyakinkan dirinya: “Saya kan bukan nabi”. Njuk, wang sinawang meraja lela di darat, laut, dan udara.
