Tenan Darurat

Published by

on

Learned ignorance bukanlah ketidaktahuan yang jelek: orang tahu ketidaktahuannya. Kalau dalam bahasa agama, Anda yang tidak punya ‘keutamaan’ itu, akan memupuk sikap seperti orang munafik yang merasa bersih di hadapan (mereka yang dia anggap) para pendosa. Di situlah dosanya: ia tidak merasa berdosa. Jika Anda punya learned ignorance, pada saat Anda merasa lebih baik dari pendosa, Anda akan menyelisik jangan-jangan kriteria dosa Anda cuma perkara salah benar di hadapan hukum, dan seterusnya. Kalau Anda mau lebih peka lagi mengenai dosa, Anda bisa cek tautan What do you mean by ‘conversion’? Itu judulnya doang bahasa Inggris. 

Nah, sekarang saya hendak menyoroti perkara darurat yang bagi sebagian dari Anda tidaklah kelihatan di mana daruratnya. Daruratnya ialah bahwa halnya tidak tampak seperti darurat! Itu sebagaimana hidup ini kebanyakan tidak hitam-putih. Kalau kebenaran dan kebaikan itu perkara hitam-putih atau terang-gelap belaka, betapa mudahnya hidup ini. Yang bikin runyam ialah bahwa yang putih itu ada dalam hitam dan yang hitam itu ada dalam putih seperti lingkaran yin yang itu. Dalam bahasa Ignasius, yang bikin runyam bukan soal adanya roh baik dan roh jahat, melainkan bahwa roh jahat itu dapat menjelma seperti roh baik!

Tulisan ini adalah sentimen terhadap berita di tautan ini. Sentimen, tentu saja, perkara lebaynya perasaan; tetapi saya pakai sentimen di sini bukan menonjolnya perasaan saya terhadap pikiran saya sendiri, melainkan lebaynya perasaan saya terhadap apa yang mungkin dipikirkan banyak orang. Disclaimer: saya tidak anti-IKN atau pembangunan basilika IKN. Saya hanya ingin menyitir teks ini: “Ketika Yesus keluar dari Bait Allah, seorang murid berkata kepadanya: “Guru, lihatlah betapa kokohnya batu-batu itu dan betapa megahnya gedung-gedung itu!” Lalu Yesus berkata: “Kaulihat gedung-gedung yang hebat ini? Tidak satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan.” (Mrk 13,1-2)

Ketika sebuah lembaga keagamaan secara tegas menolak IUP tambang, saya lega. Tidak sebaiknyalah negara mengkooptasi agama, misalnya, dengan tawaran bisnis tambang. Akan tetapi, bisa jadi hegemoni negara terhadap agama tak sesempit IUP. Aparat cerdiknya bisa saja mencari titik lemah agama: ruang agama yang tak memiliki learned ignorance dan berbaur dengan kekuasaan. Di mana titik itu? Ada di ranah liturgi, ranah ritual, ranah ibadat suci. Kenapa itu titik lemah yang tak punya fitur learned ignorance?

Saya tak mau bertele-tele: di situlah setiap orang bisa merasa keyakinannyalah yang paling benar; apalagi jika hirarki kuasa ada dalam jangkauannya. Maka, misalnya, orang berpikir bahwa orang harus beribadat di tempat ibadat, orang harus punya tempat ibadat, orang harus mengikuti tata ibadat, dan seterusnya. Alhasil, IUP tambang bolehlah ditolak; ditolak jugakah rumah ibadat? Hmmm… lumayan, bisa buat destinasi baru ziarah.

Gereja pada awalnya, sejauh saya tahu, gerakannya bersifat bottom-up. Juga meskipun Gereja Katolik punya ciri hirarkis, karakter bottom-up tak bisa dihilangkan. Saya punya ikrar ketaatan kepada Paus Fransiskus, tetapi jangan kira bahwa beliau bisa sewenang-wenang merenggut nurani saya. Negara, sebaliknya, punya tendensi top-down. Dia berwenang menata hidup masyarakat dengan aparatus yang dia punya. Apakah itu berarti negara bertentangan dengan agama? Ya gak harus gitu juga. Bisa klop, sejauh negara menerapkan kebijakan top-down yang memberi ruang bagi gerakan bottom-up.

Mungkin saja Anda tak suka melihat orang-orang di pinggir atau tengah jalan menyodorkan kantong tempat sumbangan sukarela bisa dicemplungkan untuk pembangunan rumah ibadat. Njuk Anda bercita-cita luhur, hendak jadi ASN supaya bisa membuatkan tempat ibadat. Anda punya posisi tinggi di departemen agama dan berhasillah Anda merealisasikan aturan alokasi dana untuk tempat ibadat. Dari mana dana itu? Dari pajak! Resmi? Resmi! Anda boleh lega dan kipas-kipas atas keberhasilan Anda, tetapi learned ignorance mungkin menggelitik nurani Anda. Pertama, Anda tak lebih dari mereka yang menyodorkan kantong di pinggir atau tengah jalan untuk cari sumbangan bikin rumah ibadat; yang membedakannya cuma bahwa Anda berstatus resmi. Kedua, solidaritas umat untuk memperjuangkan kebutuhan mereka menguap, mereka terima jadi, tempat ibadat jatuh dari langit. Kedua, itu kok mirip-mirip dengan model kolonial ya: bangun ini itu untuk tujuan akhirnya pemantapan status quo? Begitulah top-down.

Sebelum membangun tempat ibadat bersama, sewajarnya terbangun dulu persaudaraan atau komunitas yang membutuhkan tempat ibadat itu: butuh cari lahan, tempat parkir, biaya untuk pemeliharaan, tenaga pemeliharanya, dan seterusnya. Bait Allah di Yerusalem jelaslah destinasi ziarah yang megah dan Yesus bukannya tak tahu konsekuensinya: di sanalah cuan berkumpul, kekuatan politik-ekonomi-agama bercumbu. Mengutak-atik Bait Allah itu tidak hanya ngitik-itik status quo pentolan agama, tetapi juga memancing kejulidan pemangku kepentingan ekonomi dan politik.

Ini berandai-andai saja ya; kalau saya presiden IKN, saya akan belajar dari berapa banyak tempat ibadat yang beralih fungsi karena tak ada dana lagi untuk running cost pemeliharaannya. Sangatlah mungkin misalnya, gereja diubah jadi masjid, sekolah diubah jadi gereja, dan seterusnya. Alhasil, alih-alih bikin sekat agama temuan kolonialisme (ironisnya itu dibuat dengan slogan mulia toleransi), saya akan menyediakan ruang luas untuk siapa saja beribadat dengan teknis pelaksanaan yang bisa dirembug bersama oleh seluruh pemakai ruang itu.

Lah, ya mana mungkin tempat saya beribadat dipakai untuk orang beragama lain berdoa? Itu sudah membuat tempatnya sendiri tak layak bagi saya untuk beribadat! Bagaimana mungkin tempat saya beribadat ada berhalanya?
Itulah yang tadi saya maksud titik lemah agama, yang di dalamnya peluang learned ignorance tak dikembangkan. Alhasil, cocok dengan temuan kolonialisme, agama hanya jadi perkara ritual, atau lebih mengerikan lagi: wisata rohani. Dengan begitu, betul juga kata Yesus, “Tidak satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain, semuanya akan diruntuhkan.” Tenan darurat. Daruratnya bukan merujuk pada hasil mainnya, melainkan pada cara mainnya.

Previous Post
Next Post