2050

Published by

on

“Menurut prediksi, ekonomi Indonesia akan ada di atas Jerman pada tahun 2050. Kok ada yang bilang Indonesia gelap?” Jika si pembuat pernyataan ini bicara di tahun 90-an, dia akan diminta untuk omong sama ember, tetapi baiklah saya berusaha untuk menilik maksud baiknya karena sekarang toh bukan zaman 90-an. Bisa jadi, si penutur logika aneh itu hendak memperluas zona nyamannya: ayo toh, daripada stress dengan kesusahan hari ini, mari kita tatap masa depan nan cerah itu; tak usahlah berseru-seru bahwa Indonesia gelap. Tak usah ambil pusing kerugian negara 200 trilyun atau 100 trilyun atau bunga hutang per tahun sekian ratus trilyun. Mari songsong ekonomi Indonesia di atas Jerman di tahun 2050!

Ini anjuran yang lebih positif daripada anjuran supaya orang keluar dari zona nyaman. Sebetulnya sih sama aja. Memperluas zona nyaman tuh ya mesti keluar dari zona nyaman, tapi mungkin yang pertama kelihatan lebih lembut karena, pada kenyataannya, keluar dari zona nyaman itu lebih susah, bukan? Memperluas zona nyaman lebih inklusif dan murah hati: semoga kenyamananku menjadi kenyamananmu juga. Asik, kan? Jadi, wong jelas prediksinya 2050 ekonomi Indonesia di atas Jerman kok, ngapain berseru-seru Indonesia gelap? Optimislah seperti saya ini loh, Dul!

Kemarin saya curcol pada seorang driver ojol ketika di tengah hujan deras dan kondisi jalan padat kendaraan. Hampir di setiap persimpangan jalan dan tempat putar balik ada polisi berjaga. Jebulnya ada rombongan plat khusus dan plat merah lewat. Miris melihatnya. “Kenapa, Pak?”
“Mas, orang-orang yang dapat privilese seperti itu, bukankah mereka semestinya bertugas membuat layanan publik lancar? Mengapa mereka memperlancar diri terus di tengah layanan publik yang amburadul?” Tentu saya sadar pertanyaan saya bombastis karena saya baru kali pertama lihat rombongan itu, tetapi yang semacam itu tidak cuma satu dua.
“Ya mungkin demi kelancaran layanan publik, Pak”
“Iya, Mas, klaim seperti itu sudah ada sejak Orba.”

Mirisnya, privilese itu selalu berarti eksklusif dan memperluas privilese secara teknis akan lebih sulit daripada memperluas zona nyaman. Itu mengapa suara para penguasa sangat tidak empatik. Mau membongkar zona nyaman ya tidak bisa karena targetnya mencari privilese. Mau memperluas zona nyaman juga tidak bisa karena kenyamanannya tidak bisa diakses orang lain. Ini menjawab mengapa ada orang yang bilang Indonesia gelap padahal menurut prediksi pada tahun 2050 ekonomi Indonesia ada di atas ekonomi Jerman: karena kenyamananmu, Dul, tidak bisa diakses orang lain zaman sekarang. Juga kalau nanti 2050 ekonomi Indonesia ada di atas ekonomi Jerman sesuai prediksi dua tahun lalu, sekarang ini kenyamananmu berada di atas penderitaan driver ojol yang dulunya pebisnis menengah, karyawan perusahaan, karyawan bank, yang akhirnya mengundurkan diri atau dipecat. Itu pertama. Kedua, mungkin caramu melihat kenyataan itu seperti seorang megaloman, Dul. Yang kau lihat dan kau katakan itu bahasa-bahasa kosong yang membuatmu buta terhadap derita mereka yang mungkin cuma kehilangan sekadar dua ribu perak tapi dari sekian puluh juta orang dan sekian puluh atau ratus kali kehilangan dua ribu perak gegara pertalite oplosan, misalnya.

Tuhan, mohon rahmat jiwa besar dan hati yang rela berkorban untuk memperluas zona nyaman kami. Amin.


RABU BIASA VII C/1
26 Februari 2025

Sir 4,11-19
Mrk 9,38-40

Posting 2019: Bagi-bagi Lahan

Previous Post
Next Post