Jika petir bisa jadi jaminan sumpah, tentu pada umumnya pejabat di negeri ini adalah sosok yang baik dan adil dan mayoritas ASN, baik PNS maupun P3K, adalah orang-orang yang mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan pribadi. Sayangnya, sulitlah meminta petir untuk jadi penjamin. Belum tentu ia mau menyambar orang yang secara lantang berteriak “Sumpah disambar geledek, saya tidak berbohong!” Ia tidak disambar petir bukan karena ia tidak berbohong, melainkan karena ia mengumbarnya ketika petir sedang berada di tempat lain.
Teks bacaan utama hari ini, seperti yang kemarin, mengafirmasi supaya orang memegang sumpahnya di hadapan Allah. Maklum, jika orang hanya berjanji di hadapan orang, bahkan jika jumlahnya ratusan juta sekalipun, bukankah ia punya peluang untuk ngeprank ratusan juta orang? Aneka kasus publik, mulai dari impor beras sampai izin tambang, jelas menunjukkan bahwa kepentingan negara selama sekian puluh tahun hanya jadi kamuflase pemegang sumpah jabatan untuk memperkaya diri dan keluarga dan kerabat mereka.
Dengan demikian, teks pergi ke sesuatu yang lebih radikal: tak usahlah orang bersumpah demi apa pun, apalagi demi Tuhan, karena ia tak punya kuasa apa pun terhadap penjamin-penjamin itu. Cukuplah orang berkata ya kalau kenyataannya ya dan tidak kalau memang tidak. Selebihnya, biasanya datang dari si jahat, yang tentu saja mampu menyamar sebagai si baik.
Meskipun demikian, teks bacaan tidak menyodorkan aplikasi situasional terhadap radikalisasi larangan bersumpah itu. Artinya, bisa jadi dalam konteks tertentu, sumpah itu diperlukan bukan demi sumpahnya sendiri, melainkan demi kebaikan bersama. Nah, di situ muncul persoalan karena bisa jadi demi kebaikan bersama, orang menghidupi white lies. Saya pernah memandu upacara sumpah jabatan dan saya merasa sedang mempraktikkan white lies karena saya menerimanya sebagai formalitas belaka. Syukurlah, boleh percaya boleh tidak, pada saat bersamaan saya juga mohon supaya Tuhan memberkati usaha saya untuk menjalankan apa yang saya janjikan di hadapan hadirin saat itu.
Saya lebih sreg dengan ya jika ya dan tidak jika tidak. White lie mungkin masih bisa diterima sebagai basa basi, tetapi jika basa basi ini jadi pola, bisa jadi orang tahu-tahu sudah berkubang dalam ilusi. White lie yang mungkin awalnya untuk kebaikan bersama dalam rentang waktu panjang bisa jadi kecelakaan sejarah karena orang tak lagi bisa membedakan antara ya dan tidak dan jungkir baliklah sistem nilai yang dihidupinya.
Mungkin, salah satu jalan keluar dari problem itu adalah pengakuan jujur bahwa jika Allah memanggil setiap jiwa untuk berjibaku mencinta, Dia pula yang akan menyelesaikannya. Di tengah-tengah itu, Anda dan saya bergumul untuk membangun trust bersama Allah dan sesama. Di situ, tak dibutuhkan basa-basi white lie.
Semoga hidup Anda dan saya diberkati rahmat-Nya supaya bisa bergerak lebih dalam dari aneka basa-basi sopan santun. Amin.
Sabtu Biasa X C/1
14 Juni 2025
