Luka

Published by

on

Beberapa waktu lalu kan saya curcol dengan judul “Jojon” ya dan sisa-sisa vibesnya terpantik lagi kemarin. Dalam liturgi Gereja Katolik, kemarin itu pesta St. Tomas, salah satu murid ring satu Yesus dari Nazareth. Tomas ini populer dengan atribut sulit percaya tapi sekaligus pada mulutnya dilekatkan pengakuan keilahian Yesus dari Nazareth. Tak usah ambil pusing soal ini. Take it or leave it aja.

Poinnya, kolega yang memimpin ibadat mengambil topik semacam ‘menyentuh luka’ sebagai pijakan orang untuk membuat lompatan hidup atau transformasi yang signifikan dalam hidupnya. Tak berani menyentuh luka sama saja berkubang dalam tempurung keyakinan palsu yang menampung aneka gerakan tetapi ya di situ-situ aja. Keciutan hati untuk menyentuh luka itu membuat orang terombang-ambing, serba takut dan ragu untuk menetapkan langkah.

Nah, sebetulnya si menteri Jojon (semoga almarhum idola saya tak merasa namanya jadi peyoratif) itu keren sudah ‘menyentuh luka’ sehingga relatif banyak pihak yang angkat suara karena sentuhannya. Itu juga tak berbeda jauh dari ribut-ribut soal rumah ibadat. Akan tetapi, kenapa tidak setiap ‘menyentuh luka’ itu transformatif alias membuat adab orang berkembang? Saya kira tuntunan senior saya bisa jadi clue.

Katanya, luka yang disentuh Tomas itu bukan luka menganga yang belum sembuh: itu adalah bekas luka. Artinya, luka tak ditampik adanya, tetapi adanya luka itu sudah bukan lagi derita, melainkan kemuliaan. “Sakit boleh, menderita jangan,” kata saya. Yang dilakukan menteri Jojon dan peserta ribut-ribut soal rumah ibadat (pihak mana pun) menyentuh luka yang belum sembuh.

Dalam komunitas konflik semacam Protestan-Katolik di Irlandia atau, yang mungkin lebih relevan, Islam-Kristen di Indonesia, sangat mungkin bertahan karena luka-luka yang masih menganga. Celakanya, luka-luka itu sendiri sebetulnya tidak disebabkan oleh ideologi agama, tetapi kepentingan politik ekonomi. Saya sangat tidak yakin bahwa jika Nabi Isa dan Nabi Muhammad berjumpa, mereka akan berkelahi rebutan tanah sumber rezeki masing-masing. Pengikut merekalah yang kemudian berperang habis-habisan, untuk apa lagi kalau bukan ekspansi kekuatan ekonomi?

Sejarah berulang: yang berperang adalah orang-orang pada abad gelap sekitar satu milenium lalu, tetapi lukanya dipelihara sampai sekarang dan celakanya, mempertahankan luka itu seakan-akan sedemikian heroik dan yang begini-begini ini jadi santapan empuk untuk status quo. Semakin konflik horisontal hidup, semakin konflik vertikal redup. Semakin seru masalah horisontal, semakin bisu isu vertikal.

Luka yang belum sembuh itu mencengkeram orang yang hendak menyangkal dan melupakan eksistensi lukanya. Semakin orang hendak melupakannya, semakin orang memberi kekuatan kepada objek yang hendak dilupakannya. Itu mengapa pengampunan dibutuhkan supaya luka menjadi mulia. Yang dilakukan menteri Jojon bertentangan dengan pengampunan.

Previous Post
Next Post