Dunia ini panggung sandiwara. Setiap aktor mengambil topeng tertentu. Semakin baik menampilkan topengnya, semakin pentas sandiwaranya baik. Itu artinya, sang aktor menjiwai topeng, memberi jiwa kepada topeng. Sayangnya, kebanyakan aktor sangat amatir dan tidak bisa memberi jiwa; enaknya topeng diterima, gak enaknya ditolak. Setengah-setengah, mediocre, sehingga malah munafik.
Kalau kemunafikan itu cuma di level privat, mungkin tak jadi masalah, tapi apa ada kemunafikan di level privat? Kemunafikan justru kentaranya di ranah publik. Di ranah privat, mungkin itu lebih tepat disebut sebagai pergumulan batin: mau omong apa adanya atau apa mestinya, mau bela diri atau bela negara, mau senyum kecut atau nangis bombay, mau nanggung malu atau lari dari kenyataan, dan seterusnya. Di ranah publik, hasil pergumulan itu bisa kelihatan dalam wajah-wajah sangar, tegar, berwibawa, bijak, optimis, berkarakter, dan seterusnya.
Tidak gampang bagi khalayak untuk menangkap apakah wajah-wajah di ranah publik itu topeng yang berjiwa atau topeng orang sakit jiwa. Mungkin hanya aktornya sendiri, sejauh sadar diri, yang tahu apakah ia munafik atau tidak; tetapi di ranah publik, pada saatnya akan terlihat juga kemunafikannya. Kelihatan dari mana? Dari mangkraknya, dari hutangnya, dari sikap fanatiknya, otoriternya, dan seterusnya. Kenapa bisa begitu? Karena kemunafikan tidak memungkinkan orang untuk mencinta secara tulus. Ia hanyalah tifosi akal bulus.
Semoga Anda dan saya diberi rahmat untuk selalu terbuka pada panggilan-Nya. Amin.
HARI JUMAT BIASA XXVIII C/1
17 Oktober 2025
