Analisis naratif ialah bagian dari kritik sastra yang melakukan pendekatan terhadap teks dengan menggunakan kategori-kategori struktur penyusun suatu kisah: plot, narator, tokoh, pembaca, sudut pandang, waktu, dan tempat. Analisis ini memusatkan perhatian kepada teks secara keseluruhan untuk menguak dunia kisah yang disajikan pengarang sebagai suatu makna permukaan (surface meaning).
Mengapa analisis naratif diperlukan? Tanpa analisis naratif ini, pemahaman atau penafsiran terhadap teks dapat jatuh entah dalam bentuk romantisme-historisisme (perhatian terhadap sudut pikiran pengarang dan kehidupannya) atau dalam bentuk formalisme (yang melepaskan teks dari pengarangnya). Dengan analisis naratif ini teks diperlakukan sebagai wacana yang otonom terhadap pengarangnya tanpa menyangkal bahwa dunia teks yang diciptakan pengarang itu menjadi cermin bagi pembaca untuk melihat dunia ‘sesungguhnya’.
Oleh karena itu, target pendekatan naratif bukanlah apa yang ada di belakang teks, melainkan apa yang ada di depan teks yang hendak disodorkan kepada pembaca. Analisis naratif bisa dimulai misalnya dengan mengamati:
1. Sinopsis kisah yang menyodorkan tokoh-tokoh utama dan rangkuman kisahnya.
2. Alur cerita atau plot yang terdiri dari eksposisi tokoh-tokoh utama, momen yang menggugah (inciting moment), yang membuat cerita berjalan, (b) komplikasi pertama yang menunjukkan problem kisah, (c) titik puncak atau titik balik kisah, (d) komplikasi kedua, (e) resolusi dan (f) kesimpulan. Konon, kisah yang baik itu memiliki titik balik setelah separuh kisah berjalan.
3. Narator kisah: kompetensinya (omniscient alias serba tahu atau limited), peranannya (dramatized atau undramatized), caranya berkisah (telling atau showing), dan keterlibatannya (neutral observer atau privileged witness).
4. Pembaca kisah: pembaca tersirat (implied reader) seperti apa yang diandaikan (istilah-istilah dalam kisah menuntut pengetahuan tertentu yang tentu diandaikan oleh real author dipahami oleh pembacanya; posisi pembaca dan tokoh kisah (reader-elevating position yang menimbulkan ironi, character-elevating position yang memancing pertanyaan real reader, atau evenhanded position); minat pembaca yang ditimbulkan kisah, reaksi pembaca terhadap tokoh (empati, simpati, antipati).
5. Tokoh: dinamis-statis, flat-round, fungsi tokoh (yang diperdalam pada analisis struktural), cara tokoh ditampilkan (langsung atau tak langsung).
6. Sudut pandang: internal-eksternal (terkait dengan dramatized-undramatized narrator), dan wide angle point of view; bisa terjadi peralihan sudut pandang juga (permainan perspektif narrator dan tokoh, misalnya).
7. Pengolahan waktu: narrated time (waktu yang disebutkan dalam kisah) atau time of narrating (baris, bab, halaman); durasi, percepatan, pelambatan kisah; urutan waktu (order) atau frekuensi.
8. Latar: konteks, arena, panggung kejadian atau tindakan para tokoh (latar tempat, latar waktu, maupun latar sosial).
Tidak semua unsur itu barangkali revelan untuk setiap narasi. Maka dari itu, bisa jadi untuk karya tertentu latar tempat maupun sosial tidak sangat relevan, sementara untuk karya sastra lainnya justru menjadi penting.
Analisis naratif ini sangat kontributif terhadap perolehan makna permukaan (tidak harus berarti dangkal), tanpa memperhitungkan temuan historis-kritis, psikologi sosial, dan lain sebagainya. Keterbatasan dalam pengolahan informasi detil juga berkaitan dengan pemahaman tokoh yang sifatnya dangkal karena analisis naratif berfokus pada alur utama (kernel) yang memang lebih penting bagi cerita secara keseluruhan daripada alur samping (sattelites).
Yang lebih penting dari keterbatasan analisis naratif ini ialah evaluasi kisah, kriteria penilaian baik-buruk dalam kisah akan terbatas oleh sudut pandang pengarang tersiratnya (implied author). Pembaca yang tidak kritis akan terkecoh oleh sudut pandang implied author dan menyetujuinya begitu saja. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis lain yang lebih detil, yang juga terkait dengan elemen analisis naratif terhadap tokoh-tokoh dalam kisah, yaitu analisis struktural.