Jika menilik uraian halaman-halaman sebelumnya, sebetulnya agama amburadul ya tidak ada, karena agama kan cuman kategori. Itu semacam garis khayal untuk membatasi kelompok orang ini begini dan kelompok orang itu begitu [meskipun bisa jadi beberapa anggota kelompok orang ini begitu dan beberapa anggota kelompok orang itu begini]. Maka dari itu, agama Allah dan agama setan bisa jadi test case sebagaimana halnya partai Allah dan partai setan.
Kalau Anda tanpa pikir panjang langsung emosi jiwa begitu mendengar tetangga menyebut agama Anda agama kafir, itu indikasi Anda sedang melakukan apa yang disebut reifikasi. Anda tidak sadar bahwa agama kafir adalah konsep. Bayangkanlah tetangga saya yang berlari-lari bersama anjingnya, lalu menemukan tulisan besar di tembok “YANG KENCING DI SINI ANJING”. Ia berhenti dan melatih anjingnya kencing pada tembok itu sampai akhirnya lain hari si anjing selalu mengencingi tembok itu!
Kita tahu bahwa maksud tulisan itu ialah ‘dilarang kencing di sini’, tetapi karena konsepnya ‘Yang kencing di sini anjing’, tetangga saya melakukan reifikasi sedemikian rupa sehingga anjingnya kencing di situ. Ini bukan contoh serius reifikasi, tetapi poinnya ialah bahwa orang cenderung melakukan reifikasi terhadap kategori-kategori yang dianggapnya penting bagi hidupnya. Orang tidak sadar bahwa kategori itu hanyalah konsep atau menganggap konsep sebagai hal konkret atau nyata. Itu mengapa agama amburadul, agama kafir, agama Allah, itu tidak ada.
Lha trus kenapa sewot kalau kemarin ada Harya Sangkuni yang membuat dikotomi partai Allah dan partai setan? Ya sewotnya bisa mengindikasikan dua hal: memang melakukan reifikasi atau melakukan kritik terhadap Sangkuni yang hendak memainkan emosi orang yang melakukan reifikasi. Itu dua hal yang berbeda. Yang pertama sewot karena merasa partainya dianggap secara implisit partai setan (seakan-akan memang partainya beneran partai setan). Yang kedua sewot sebagai ungkapan kritik terhadap Sangkuni yang memprovokasi orang yang melakukan reifikasi. Puyeng gak, Son, dengan istilah reifikasi ini?
Contoh gampang dan konkret deh. Pernah diberitakan di TV seseorang yang diciduk ke kantor polisi karena meresahkan warga, terutama para wanita. Orang ini hobi mencuri jemuran: BH dan celana dalam. Katanya itu dipakai untuk masturbasi: membayangkan pemilik asli pakaian itu seakan-akan nyata hadir untuk memuaskan berahinya [hadir mbahmu!]. Ini juga adalah bentuk reifikasi, dalam istilah psikologi kiranya disebut penyimpangan seksual fetisisme. Korban pornografi memang adalah mereka yang gemar dengan reifikasi ini. Dengan reifikasi, orang menghadapi kepalsuan dan kalaupun mengalami kebahagiaan, kebahagiaannya ya palsu juga.
Dengan demikian, semoga semakin jelas kalau di blog ini dikatakan bahwa Tuhan tiada, tak ada agama, tak ada kafir, tak ada ateis, dan sebagainya. Pernyataan itu, selain bisa dibahas sebagai wacana metafisika atau ontologi, cuma mau memberi peringatan supaya orang waspada bahwa bisa jadi yang sedang diributkannya adalah konsep, kategori, label, dan bukan substansinya sendiri. Dengan demikian, agama amburadul hendak menunjuk orang-orang semprul yang memeluk agama. Yang amburadul bukan agamanya, melainkan orang yang mempersepsi agama itu sendiri. Yang semprul orangnya, bukan kategori agamanya.
Macam mana itu orang semprul? Yang melakukan reifikasi tadi: yang membolak-balik antara konsep dan realita, antara ilusi dan kenyataan, antara sarana dan tujuan. Kenapa bisa gitu? Jangan-jangan karena gak bisa membedakan antara sarana dan tujuan. Emang gimana sih?