Saudara Seiman

Published by

on

Teks surat Paulus kepada jemaat di Roma yang dikutip hari ini meneguhkan sekaligus mengganggu saya. Lebih banyak mengganggunya sih. Yang meneguhkan ialah kalimat Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang. Saya cuma bisa berandai-andai: kalau saja semua orang sepakat akan hal itu… Akan tetapi, kalaupun semua orang sepakat bahwa tiada Tuhan selain Allah (yang satu itu), pengandaian lain jauh lebih sulit: bahwa semua orang sepakat dengan satu cara atau jalan.

Itu kelihatan dalam surat Paulus dan pertanyaan implisit Paulus juga menghinggapi kepala saya sendiri. Bagaimana Allah yang satu itu menggapai manusia? Bagaimana Allah yang mahabesar itu connect dengan dunia yang menyejarah ini? Bagaimana orang yang mengaku ber-Tuhan itu berani-beraninya mengatakan bahwa Tuhan Sang Pencipta itu masih hidup dan berhubungan dengan semesta ini? Pertanyaan ini penting karena jika orang tak memedulikan soal ini, kalau ia konsisten, ia tak perlu peduli juga dengan agama, moralitas, tatanan sosial lainnya. Dengan kata lain, kalau Tuhan itu tak terhubung dengan dunia yang menyejarah ini, baiknya ia berperang untuk membuktikan agama terbaik (demi mendapat pahala nanti setelah mati) atau terserah dah mau ngapain di dunia ini wong nantinya juga bakal ketemu monster Allah nan arbitrer itu setelah mati.

Paulus tentu ngotot dengan pengalaman pribadinya yang tak perlu juga dibantah. Ia punya pengalaman perjumpaan dengan pribadi yang dia imani sebagai Kristus. Tak ada bukti selain buah-buah perjumpaan itu. Meskipun demikian, pengalaman dan rumusan pengalaman tetaplah terbatas. Itu kelihatan dari bagaimana Paulus bergumul dengan pertanyaan “Bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya, jika mereka tidak diutus? Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

Jelaslah Paulus bicara soal Yesus Kristus, yang persis menjadi titik pertentangan bagi orang Yahudi, Kristen, dan Islam. Jika Paulus, yang berdarah Yahudi, tak bisa meyakinkan orang Yahudi lainnya, kenapa juga mesti memaksa orang Islam untuk mengakui Yesus Kristus, misalnya? Iman kepada Allah yang satu melalui Yesus Kristus itu tak mungkin ditularkan dengan paksaan. Agama bisa saja dipaksakan (maka bisa gonta-ganti), via perkawinan misalnya, tetapi iman? Takkan pernah!

Saya punya catatan pahit untuk apa yang digembar-gemborkan orang sebagai toleransi tetapi sebetulnya di dalam hati orang menyimpan arogansi tersembunyi: keyakinanmu itu salah, keyakinankulah yang benar, tapi nanti akan kita buktikan setelah kiamat. Sekarang kita baik-baik saja jaga kerukunan, tapi keyakinanmu itu salah dan keyakinankulah yang benar!

Teks Injil tentang panggilan murid hari ini menyentuh saya karena kata ‘saudara’. Di Indonesia ini, kata ‘satu iman’ cenderung diidentikkan dengan kata ‘seagama’ (padahal janjane orang ya tahu betul bahwa satu agama saja bisa saling berperang). Entah dari mana asalnya, iman diidentikkan dengan agama begitu saja. Tidak bisakah orang melihat bahwa iman yang sama dapat diungkapkan dan diwujudkan dengan aneka macam jalan dan cara?

Allah yang maharahim, semoga kami boleh menjadi saudara seiman dengan umat beragama lain. Amin.


PESTA S. ANDREAS RASUL
(Senin Adven I)
30 November 2015

Rm 10,9-18
Mat 4,18-22

One response to “Saudara Seiman”