Portami via

Published by

on

Menuduh kemalasan sebagai biang kemiskinan adalah bentuk kemalasan [berpikir] juga. Betul, kemalasan bisa menyebabkan kemiskinan, tetapi kemalasan tak tercipta sebelum Adam dan Hawa. Sebaliknya, setelah Adam dan Hawa itulah kemalasan jadi penyakit masyarakat, dari level individual sampai struktural. Itu mengapa slogan revolusi mental bisa jadi modal untuk membual dan sebagian besar warga bisa jadi lebih percaya pada bualan dan buaian daripada kajian njelimet yang lebih bisa dipertanggungjawabkan. Malaslah!

Sebagai rakyat jelantah, sudah sejak zaman Orba saya malas bahkan untuk sekadar memikirkan politik [meskipun skripsi sarjana sastra saya adalah ilmu politik murni]. Dalam sumsum tulang belakang saya sudah tertanam keyakinan bahwa tidak ada political will di negeri ini. Pastilah ada orang-orang tertentu punya niat politik yang baik, tetapi niat itu tertimbun dalam republik maling yang prinsip motivasi pilihan tindakannya adalah “semua orang juga gitu” dalam kultur moral hazard.

Narasi teks bacaan hari ini sekurang-kurangnya mengikis tendensi untuk tenggelam dalam pembenaran “semua orang juga gitu” atau sebagian mengatakan “ora edan, ora komanan” (gak ikutan gila, gak kebagian). Ceritanya tak masuk akal. Bisa-bisanya Yesus tidur pulas ketika badai menerjang kapal yang ditumpanginya!
Ya namanya Tuhan, apa sih yang gak mungkin? Wkwkwkwkwk… For your information, saya tidak percaya bahwa pemahaman orang zaman now mengenai Yesus sebagai Tuhan itu sama dengan pemahaman penulis narasi teks bacaan hari ini tentang Yesus sebagai Tuhan. Itu mirip-mirip dengan aneka tafsir mengenai Tuhan yang bikin orang yang satu gontok-gontokan dengan orang yang lain karena kata Tuhan itu tak lebih dari homonim. Bagi yang satu, Tuhan itu perut, bagi yang lain, Tuhan itu cuan, bagi yang lain lagi, Tuhan itu ideologi, dan seterusnya.

Dengan cerita yang tak masuk akal tadi, saya yakin bahwa penulis teks bacaan hari ini hendak menyampaikan pesan tertentu, dan pesan itu saya tangkap dengan lagu Fabrizio Moro berjudul Portami via (Bawalah Aku Pergi). Kalau berminat, Anda bisa menyimaknya di tautan ini. Meskipun klip videonya menarasikan narapidana yang dijemput istrinya pulang dari penjara, lirik lagunya memberi kesan kuat bagaimana orang butuh kekuatan untuk menghadapi realitas hidup yang selama ini dihadapinya dengan kecemasan, ketakutan dan kepahitan yang dibalutnya dengan kebohongan.

Kekuatan itu tak bisa ditimba dari diri sendiri yang sudah terlanjur tenggelam dalam kenyamanan “semua orang juga gitu” tadi. Kekuatan itu juga tak bisa dilandasi ambisi untuk unjuk gigi di hadapan Allah dan sesama yang bisa berujung pada teriakan protes seperti Yesus sendiri konon mengatakannya “Allahku ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Kekuatan itu diharapkan oleh Fabrizio Moro dari sosok cinta sejatinya, yang bisa memantiknya untuk menghardik kekuatan-kekuatan korup dalam dirinya,”Diam! Mengapa takut?”

Ketakutan memang bisa jadi indikator minimnya iman, dan orang yang imannya tipis berpikir bahwa hidup ini adalah perkara ambisinya sendiri, kekuasaannya sendiri, keputusannya sendiri. Dia lupa bahwa hidup ini milik Allah semata dan indikasi kelupaan itu lagi-lagi adalah moral hazard yang bisa jadi bikin orang banyak terpukau wow padahal yang mereka lihat adalah drakula yang adalah… nothing, lifeless, soulless, hated and feared

Tuhan, mohon rahmat untuk hidup di hadirat-Mu selalu. Amin.


HARI MINGGU BIASA XII B/2
23 Juni 2024

Ayb 38,1.8-11
2Kor 5,14-17
Mrk 4,35-40

Posting 2021: Allah dalam Badai
Posting 2015: Capek Beriman?

Previous Post
Next Post