Allah dalam Badai

Points to ponder:

  1. Allah menyelamatkan manusia bukan dari badai atau penderitaan, melainkan dalam badai atau penderitaan, karena Dia adalah Allah-bersama-kita.
  2. Sudah sepantasnyalah doa orang beriman tak bernada komando supaya Allah membebaskannya dari badai dan penderitaan itu, tetapi membebaskannya dalam badai dan penderitaan.
  3. Dalam badai hidup itu, orang beriman pantas mohon supaya dibebaskan dari kekuatan jahat sehingga jika badai berlalu, ia tetap teguh dalam iman, harapan, dan cintanya.

Narasi hari ini, sebagaimana umumnya cerita Injil, bukanlah laporan penulis mengenai peristiwa angin ribut di danau. Ini adalah narasi reflektif dengan bahasa simbolik.
Keterangan waktu “sore” merujuk pada masa akhir hari; ini adalah masa menjelang akhir hidup Guru dari Nazareth, yang telah ‘seharian’ bekerja untuk menebarkan benih Kerajaan Allah. Giliran murid-muridnyalah yang mesti melanjutkan kerja itu.
Keterangan tempat tujuan “ke seberang” mengacu pada dunia lampau yang tak mengenal Allah, yang dikuasai roh jahat yang merendahkan martabat makhluk Allah: promotor ketidakadilan, provokator perang, perlombaan egoisme, kelekatan pada harta, kuasa, sehingga dunia tak lagi pantas dihidupi .
Kata “perahu” merujuk pada komunitas umat beriman, sehingga “perahu-perahu lain” berarti komunitas-komunitas beriman yang tersebar di tempat lain; yang punya misi kurang lebih sama, yaitu untuk menebarkan benih Kerajaan Allah, atau apa pun istilahnya.
Taufan dan ombak jelas menunjuk pada kekuatan pagan yang hendak menghalangi misi komunitas umat beriman tadi. Danau bisa dipadankan dengan laut, yang menyimbolkan kekacauan dunia. Penciptaan Allah menghilangkan keadaan khaos, dan itulah juga yang terjadi melalui Guru dari Nazareth yang menghardik angin ribut.

Mungkin tak seorang pun mengharapkan hidup berbadai. Akan tetapi, nelayan mana juga yang membeli perahu hanya untuk ditambatkan di pelabuhan dan dijadikan restoran apung? [Ya nelayan kaya rayalah, Rom] Maksud saya, perahu sejatinya dibuat sebagai sarana transportasi air, entah sungai, danau, atau laut. Entah bagaimana dan mengapa, badai itu bisa datang sewaktu-waktu. Pada masa badai itulah, bersama pemazmur, orang beriman tentu boleh berteriak “Sampai kapan Tuhan bersembunyi dariku, sampai kapan Engkau diam?”

Meskipun begitu, Allah yang tampak diam ini, sebetulnya hadir dalam badai atau penderitaan hidup manusia: supaya terbebas dari ketakutan, kecemasan, kekhawatiran dan dapat bertekun dan meneguhkan imannya dalam badai dan penderitaan. Hal-hal itulah yang memungkinkan manusia secara kreatif menemukan cara supaya badai berlalu dan dengan kepala tegak manusia beriman keluar darinya. 

Tuhan, mohon rahmat kesadaran supaya juga dalam badai hidup kami tetap dapat hidup di hadirat-Mu. Amin.


HARI MINGGU BIASA XII B/1
20 Juni 2021

Ayb 38,1.8-11
2Kor 5,14-17
Mrk 4,35-40

Posting 2015: Capek Beriman?