Bakri

Published by

on

Orang boleh bergembira atas kelahiran manusia baru ke dunia ini, tetapi sebaiknya ingat bahwa kelahiran seperti itu hanyalah menambah kuantitas kematian. Kelahiran manusia baru jenis itu tak menjamin peningkatan kualitas kehidupan. Kata senior saya yang tak punya pengalaman melahirkan, orang bisa melahirkan bayi, tapi tidak bisa memproduksi [suara] hatinya.

Inspirasi posting minggu lalu kurang lebih menyinggung perkara orang beriman keluar dari kungkungan pola hidup lama. Pola hidup lama ini dasarnya adalah kultur kematian, yang tak memberi harapan, jiwa, hidup, penuh kecemasan dan ketakutan. Orang takut hidup atas dasar prinsip etis di tengah bobroknya struktur hidup bersama, dan tinggal cari selamat sendiri-sendiri.

Teks bacaan hari ini adalah kisah lanjutannya. Sekembalinya Yesus dari seberang, ia disambut kerumunan orang dan di antara kerumunan itu ada dua karakter penting ditampilkan. Pertama adalah Yairus, yang pasti bukan orang kaleng-kaleng karena dia adalah kepala rumah ibadat dan yang kedua juga bukanlah orang yang kaleng-kaleng sakitnya: pendarahan. Nota bene, kalau Anda dilarang makan saren, alias darah ayam, misalnya, mohon diketahui bahwa dalam kultur hidup Yesus saat itu, darah memang adalah simbol hidup. Kehabisan darah ya kehabisan hidup. Hidup ini milik Allah; kalau Anda makan darah binatang, Anda mengambil milik Allah; jadi janganlah berlagak sebagai Allah; gitu aja, tapi ya begitulah kultur simbol. Sekurang-kurangnya, Anda mengerti alur pemaknaannya; perkara Anda mau makan saren atau tidak, dengarkanlah suara hati Anda dulu dan ujilah dari mana datangnya suara itu.

Yairus itu seakan merujuk pada kebuntuan manusia atas hidup yang terbatas ini, seperti juga perempuan yang kehilangan darahnya itu. Yairus tidak tahu rekayasa genetika, tidak tahu juga gimana membikin ramuan yang bisa bikin orang awet muda atau awet tua dan umurnya bisa mencapai ratusan tahun. Perempuan yang sakit pendarahan itu, apalagi, tak tahu menahu soal bagaimana membekukan darahnya untuk kemudian suatu saat dipakai lagi atau membuat organ tubuh manusia bisa awet selama-lamanya. Apa pun itu, ujung-ujungnya hanyalah menunda korosi, menunda kiamat, dan seterusnya.

Menariknya, baik Yairus maupun perempuan itu ditampilkan sebagai karakter yang mengerti di mana letak keunikan pelayanan Yesus: bukan menunda kematian, melainkan memberi hidup terhadap materi yang rentan kematian. Tiliklah bagaimana keyakinan perempuan itu: asal aku sentuh saja jubahnya, aku selamat.
Nah, ini yang perlu dicamkan dan kalau kita mencamkannya, kita akan melihat perbedaan dengan tren orang beragama pada zaman now, suka sekali dengan yang spektakuler.

Perempuan itu tidak mengatakan “Asal kusentuh jubahnya, aku pasti sembuh!” Betul, selamat tidaklah identik dengan sembuh; keselamatan tidak bergantung pada sehat-sakitnya orang, kaya-miskinnya orang, sukses-gagalnya orang, tetapi pada terpautnya orang pada daya hidup di tengah-tengah bobrok dan korupnya dunia material. Di kepala saya terngianglah lagu “Guru Oemar Bakri” yang bisa Anda nikmati musiknya.

Tuhan, jadikanlah kami seperti guru yang jujur berbakti untuk memaknai keterbatasan hidup kami. Amin.


HARI MINGGU BIASA XIII B/2
30 Juni 2024

Keb 1,13-15;2,23-24
2Kor 8,7.9.13-15
Mrk 5,21-43

Posting 2018: Allah Penghukum?
Posting 2015: Life-Giving Touch

Previous Post