“Saya sibuk banget sampai2 tak sempat ke gereja”
Aktivitas seseorang mengambil waktu dan ruang tertentu, sesedikit dan sekecil apapun. Katakanlah seorang sales bekerja 12 jam sehari, 12 jam lainnya adalah waktu untuk kepentingan lainnya yang tidak bisa diutak-atik lagi. Sangatlah masuk akal jika ia katakan bahwa ia sibuk bekerja sehingga tak sempat ke gereja, kumpul warga, rapat RT, mengurus acara kampung, dan sebagainya.
Itu adalah soal manajemen waktu dan logikanya sederhana: waktu dialokasikan seturut prioritas kepentingannya. Maka, pada contoh di atas, jika orang memprioritaskan kerja, tentu ia tidak memberi waktu untuk ke gereja, mesjid, pura, dan sebagainya.
Sehat tidaknya manajemen waktu bergantung dari beberapa faktor. Misalnya, jika masa kerjanya enam hari seminggu dan 12 jam per hari (gile bener, ini kerja apa rodi ya?) dan hari Minggu ia masih juga lembur dan tak sempat ke gereja, kiranya itu kurang sehat. Orang akan tahu bahwa ia sedang mencari-cari alasan (rasionalisasi): secara objektif memang tak mungkin melakukan dua hal bersamaan sehingga satu hal dikorbankan demi hal lain. [Untuk generasi multitasking, mungkin dua hal itu bisa dilakukan bersamaan…. tapi mosok sih main farmville atau angry-crazy bird sewaktu Ekaristi di gereja atau melayani bisnis online selagi sholat jama’ah di mesjid? Aneh sekali…]
“Saya akhir-akhir ini sibuk sekali sehingga tak sempat berdoa”
Gak sempat ke gereja, mesjid, pura, dan tempat ibadat lainnya tidaklah sama dengan gak sempat berdoa, bukan? Mengapa? Orang bisa berdoa di mana dan kapan saja. Persoalannya akan kembali pada manajemen waktu tadi jika doa dipahami sebagai rangkaian kombinasi aktivitas fisik: membuat tanda salib, berwudu, berlutut, menyalakan lilin, membungkuk dan sebagainya.
Doa senyatanya adalah soal manajemen hati, bagaimanapun rumusannya: masuk pada kedalaman hati, menyambungkan hati orang dengan Allah. Ini seperti nafas yang terus melingkupi diri orang. Inti doa tidak terletak pada aktivitas fisik, tetapi pada kesadaran orang sebagai makhluk ciptaan di hadirat-Nya.
Kalau begitu, doa tidak dibatasi oleh ruang-waktu, tetapi tertuang dalam aneka ragam aktivitas: kerja fisik, ibadat atau doa bersama, devosi, ekaristi, bernyanyi, berolah raga, dan sebagainya. Itulah yang disebut kerohanian yang sesungguhnya: kesadaran batin menyeruak dalam kehidupan nan kasat mata, entah ritual agama, kerja bisnis, olah raga, hobi, dan sebagainya.
Apa jadinya jika tak ada manajemen hati?
Jika kesadaran makhluk di hadirat Allah itu tak ada, tetapi orang kelihatan khusyuk memejamkan mata, tampak berdoa, ada dua kemungkinan: (1) ia sedang belajar berdoa atau (2) ia munafik, sedang membangun kesucian semu dan kerohanian palsu. Yang penting sebagai dasar doa adalah kesadaran diri sebagai makhluk yang hidup di hadirat Allah, bukan asal memenuhi kewajiban.
Trus, kalau orang punya kesadaran itu, ngapain doa bersama orang lain? Apa Tuhan membutuhkannya? Itu adalah kebutuhan manusia akan identitas dirinya. Gimana orang tahu saya Katolik kalau tak pernah membuat tanda salib? Dari mana orang tahu tetangganya Islam kalau sang tetangga itu tak pernah tampil dengan atribut Islamnya?
Baik buruknya manajemen hati juga akan tampak pada sehat tidaknya manajemen waktu. Konon, dari buahlah orang akan mengenal pohonnya (Mat 7,20). Manajemen waktu yang amburadul (tidak memberi ruang-waktu pada perayaan iman bersama), menjadi cerminan manajemen hati yang munafik. Lha wong yang manajemen waktunya sehat saja (rajin ke gereja, mesjid, tempat ibadat lain) belum tentu manajemen hatinya sehat, gimana manajemen waktu yang amburadul? Konkretnya: lha nek ke gereja aja jarang, gimana orang mau menunjukkan hatinya yang tertambat pada Allah?


3 responses to “Gak Sempat ke Gereja?”
[…] Dikutip apa adanya dari SINI. […]
LikeLike
[…] Ia pergi ke Betania untuk melihat kembali Lazarus yang dibangkitkannya dan di sana disambutlah Ia dengan perjamuan bersama Maria, Marta, dan Lazarus, yang tentu juga melibatkan para tetangga. Marta seperti biasanya sibuk dengan aneka pekerjaan ini itu untuk perjamuan dengan Yesus, tetapi tentu disposisinya sudah berbeda daripada disposisi hatinya sewaktu ia sebelumnya ditegur Yesus. Ia tetap sibuk dengan pekerjaan rumah tangga, tetapi tidak dengan gerutu lantaran Maria malah duduk enak-enak mendengarkan Yesus. Marta sibuk bekerja ini itu, tetapi dalam ketersediaan hati untuk mendengarkan Sang Kebijaksanaan. Lambat laun ia mengintegrasikan antara kerja dan sikap pendengar Sang Sabda. […]
LikeLike
[…] Bunda Teresa juga kurang lebih sama. Tak banyak reportase mengenai aktivitas doa devotifnya. Sebagai biarawati pastilah ia punya jadwal ibadat bersama maupun doa pribadi, tetapi jelas yang menjadi gambaran inspiratif bagi banyak orang ialah ketekunannya dalam bekerja membantu sesama yang terabaikan. Penentu kesucian bukan kegiatan doanya sendiri, melainkan saluran atau sambungan dari doa ke kerjanya. […]
LikeLike