In the name of violence

Published by

on

Sudah kerap kita dengar berita sekelompok orang melakukan kekerasan atas nama agama, atas nama Tuhan, atas nama kebenaran, atas nama cinta, dan sebagainya. Tindakan seperti ini mendapat celaan karena konon gak ada agama yang mengajarkan kekerasan, gak mungkin Tuhan mengajak umat-Nya untuk membunuh sesama. Untuk perkara ini, saya cuma bisa bilang no comment karena keterbatasan pengetahuan saya.

Kenyataannya, orang sering membuat rasionalisasi terhadap tindakannya. Tahu tindakannya salah, maka mesti cari pembenaran supaya bisa diterima orang lain. Walhasil, masuk akallah kalau orang mencari dasar rasionalisasinya pada hal yang diterima banyak orang: Tuhan, kebenaran, agama, cinta, keadilan dan sebagainya. Dari situlah muncul fundamentalisme: orang nyuplik satu bagian dari kitab suci, misalnya, melepaskannya dari konteks, dan memakainya untuk membenarkan tindakan.

Contoh paling gampang, orang pasif melawan ketidakadilan karena menghayati “siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” (Injil Matius 5:39) Ini memang contoh fundamentalisme pasif. Artinya, wujud fundamentalismenya justru terletak pada regresi, bukan agresi; tetapi prinsipnya sama sebagai fundamentalisme, yaitu mengambil sebagian ayat suci untuk diterapkan kepada segala konteks.

Meskipun demikian, rasionalisasi adalah mekanisme defensif yang bisa dimengerti: orang butuh alasan untuk membenarkan tindakannya. Jadi, bagaimana kok bisa orang membunuh atas nama agama, kebenaran, Tuhan, cinta, itu bisa dimengerti meskipun kita menyebutnya sebagai fundamentalisme. 

Yang mungkin kita gak bisa paham ialah orang beragama atas nama atau demi kekerasan. Piye jal membayangkannya? Orang mau mengakui Tuhan, mengucapkan syahadat, memeluk agama, memperjuangkan kebenaran dan cinta atas nama atau demi kekerasan! Tak masuk akal, bukan? Tetapi, itulah yang disebut sebagai premanisme! Demi aktualisasi diri sebagai preman, demi aktualisasi kekerasan dirinya orang mau memakai pakaian atau topeng apapun: kalung salib, rosario, baju gamis, gambar tato drakula, dan lain-lainnya. Orang bisa memilih atribut agama apapun supaya bisa menunaikan ibadah kejinya!

imagesCASIW5WVPenyerangan sekelompok orang terhadap umat Katolik kemarin lusa di Jogja mungkin bisa dipahami sebagai pasangan ideal kekerasan: fundamentalisme dan premanisme. Kalau dua hal itu sudah bergandengan, agama pada dirinya tidak mampu mengatasinya. Ini bukan lagi problem batiniah, melainkan masalah pidana, masalah hak azasi manusia yang penjaminnya mestilah punya otoritas yang lebih luas daripada institusi agama.

Institusi apakah itu? NEGARA, apapun representasinya: Komnas HAM, kepolisian, muspida, dan lain-lain. Betapa mengerikan jika soal pidana seperti ini hanya dianggap sebagai persoalan pribadi (pun kalau itu masalah dendam pribadi dan mengakibatkan kerusakan publik, bukankah tindakan itu melanggar hak hidup warga negara?). Dari sudut korban, sebagai orang Katolik, tampaknya tidak akan muncul tuntutan kepada para preman, tetapi dari sudut negara, ini menjadi pertanyaan apakah pejabat-pejabat pemerintahan ngerti apa yang disebut subsidiaritas.

Tanpa prinsip itu, negara bisa sangat interventif terhadap wilayah intern agama, tapi justru abai terhadap keamanan warga negara. Negara seperti ini mengerikan, jauh lebih mengerikan daripada pengeroyokannya sendiri karena negara membuka peluang lebar-lebar untuk aneka kejahatan brutal! Semua orang bisa jadi preman bagi yang lainnya dan negara akan cuci tangan dari tanggung jawabnya.

Bayangkanlah, orang dirampok dan dibacok sehingga harus opname dengan biaya besar dan waktu lama dan polisi atau penegak hukum baru akan memproses jika korban menuntut perampok itu! Jadi, negara bertindak atas dasar laporan korban. Kalau korban tidak komplain, negara tidak bertindak apa-apa! Lantas, negara macam apa ini yang bukannya melindungi warga negara tapi malah memerasnya sebagai korban?! Negara preman itu tadi…

Semoga tidak begitu.

Previous Post
Next Post