Kebenaran Kitab Suci memang tak perlu ditangkap melulu secara literal. Kutipan Injil hari ini barangkali jadi contohnya: Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya.
Bayangkanlah seorang guru bahasa Inggris yang baru saja lulus kuliah S1 dan mengajar anak SMA Tarakanita I Jakarta (tanpa bermaksud promosi merk). Mungkin ia bisa jadi bulan-bulanan muridnya yang sudah sangat familiar dengan internet dan aneka kursus bahasa di luar sekolah. Penulis Injil ini tampaknya tidak mengantisipasi perkembangan zaman ya!
Sabar dulu bray!
Sekarang ini memang orang bisa saja berwacana ala posmo: tiap orang bisa jadi guru sekaligus murid, pasien sekaligus dokter, tuan sekalian hamba, dan lain-lain. Artinya, gak ada relasi timpang searah dengan klaim aku 100% benar dan kamu 100% salah (ya khusus selama masa quick count ini bolehlah 105%). Siapa saja bisa menentukan apa saja sehingga kata-kata Injil itu pun bisa dibalik: guru tak lebih dari muridnya!
Akan tetapi, Yesus gak sedang bicara soal kualitas pribadinya sebagai guru, melainkan soal konsekuensi kemuridan, yaitu menderita penganiayaan. Apakah penganiayaan yang dialami para muridnya itu lebih heboh dari penganiayaan terhadap guru dari Nazareth? Tampaknya tidak, karena saat itu salib adalah wujud aniaya terbusuk, paling menjijikkan, paling mengerikan. Kalau di zaman berikutnya para rasul juga dianiaya dengan cara yang paling keji, aniaya itu gak bikin ia lebih teraniaya daripada Kristus sendiri karena beda zaman beda kriteria keji juga. Konsekuensi penganiayaan dan derita itu gak perlu ditakutkan atau sampai membuat ciut nyali karena Tuhan takkan tinggal diam. Ia memberikan yang lebih baik daripada sekadar cedera fisik atau bahkan kematian tubuh.
Dalam bacaan pertama disinggung bagaimana Yesaya justru akhirnya dikuatkan untuk keluar dari dirinya sendiri dan membusungkan dada: Ini aku, utuslah aku! Ini bukan pembusungan dada karena kesombongan atau kekuatan diri sendiri, melainkan justru keberanian untuk bergerak dari kepentingan ego menuju tugas perutusan Tuhan. Selagi orang masih berkutat dengan urusan egonya, ia memang layak takut, minder, merasa tak pantas bahkan untuk sekadar berjumpa dengan Tuhan: Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam.
Dosa memang menghambat, dan pengampunan mengubah mentalitas kedosaan itu menjadi kerendahan hati untuk berpartisipasi dalam perutusan Allah sendiri: meskipun pendosa, aku toh tetap diutus Tuhan untuk mewartakan kabar baik. Kedosaan membuat orang mawas diri, rendah hati dan bisa rumangsa, pengampunan membuat umat beriman kembali pada harga dirinya sebagai makhluk yang dicintai dan diutus Allah… entah jadi guru atau jadi yang lainnya.
SABTU BIASA XIV
12 Juli 2014
Categories: Daily Reflection
You must be logged in to post a comment.