Apakah TV Bisa Tobat?

Fenomena quick count pilpres kali ini menarik karena lucu: kubu “Play Station” menyodorkan versi yang nyeleneh dari versi lain yang tampak lebih  tepercaya (dan kiranya dipakai oleh partai di kubu PS sendiri sewaktu pileg kemarin). Alhasil, corong kubu PS ini menayangkan hasil survei yang bertentangan dengan hasil survei di media lainnya. Anehnya, ditayangkan juga bagaimana kubu PS mengklaim kemenangannya atas dasar quick count yang sesat itu.

Konon, kemarin sudah ditayangkan hasil survei yang dimuat media-media lainnya sehingga ada yang berkomentar bahwa TV corong PS ini sudah tobat. Apakah dengan menayangkan hasil seperti yang ditayangkan media lainnya membuat TV ini layak disebut bertobat?
Tentu tidak sesederhana itu karena tobat bukanlah tindakan strategis. Misalnya, kubu PS bisa saja toh menerima hasil quick count yang kredibel supaya sahamnya tidak anjlok terus, sementara di wilayah real count kubu ini berupaya menggerus suara utk kubu lawan dengan manipulasi data dari TPS ke KPU? Tentu bisa begitu, apalagi kalau kubu lawannya lengah dan tak punya mekanisme untuk mengawal suara!

Bacaan pertama hari ini bicara mengenai nasihat untuk bertobat dan janji kemurahan hati Allah. Kalau Israel mau bertobat, niscaya Allah pun bersedia menerimanya kembali dan tidak akan mewujudkan penghancuran seperti dituturkan Nabi Hosea sebelumnya. Pertobatan itu memang terungkap dalam kata-kata penyesalan yang muncul dari hati, tetapi juga terwujud dalam tindakan yang tulus, bukan tindakan strategis atau instrumentalis (pencitraan).

Pertobatan yang demikian itu memuat konsekuensi yang tidak ringan. Dalam bacaan Injil ditegaskan: Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala. Santo Benediktus yang diperingati oleh Gereja Katolik hari ini terkesan menghindari konsekuensi tersebut dengan hidup menyepi dari keramaian kota. Akan tetapi, kesan itu jelas keliru karena ‘serigala’ tidak hanya ditemukan di kota yang ramai, melainkan juga dalam keheningan. Bahkan, mungkin justru orang kota sekarang ini pergi ke pelosok, ke tempat yang sepi, bukan untuk masuk dalam keheningan, melainkan masuk dalam kerumunan dan keramaian, apapun labelnya (bisa juga berbau rohani).

Santo Benediktus ini yang menyodorkan slogan ora et labora, dan slogan ini menantang klaim pertobatan orang: apakah pertobatannya tulus atau malah modus pencitraan belaka. Tentu saja, TV tak bisa bertobat; orang-orang yang terlibat di situ yang bisa bertobat. Semakin orang tulus dalam pertobatan, semakin ia terpaut pada kemaslahatan umum, bukan pada bagaimana mengembalikan trend positif sahamnya, membayar hutangnya, menghindari konsekuensi hukum dan sebagainya.

Lha ya jelas to, wong tobat kok gak mau kalah, gak mau ganti rugi atas kesalahan sendiri. Itu bukan tobat, melainkan jalan sesat.


JUMAT BIASA XIV
Peringatan Wajib St. Benediktus Abas
11 Juli 2014

Hos 14,2-10
Mat 10,16-23