Don’t burden yourself…

Ada penggemar tim sepakbola yang menghancurkan televisinya sendiri setelah melihat timnya kalah. Tindak destruktif seperti ini juga bisa terjadi pada kelompok pendukung capres tertentu ketika tahu bahwa capresnya kalah. Bahkan meskipun capresnya sendiri menyatakan dengan lantang bahwa ia akan menerima kekalahan, tidak selalu ucapan lantang itu sinkron dengan tindakan. Di depan publik orang bisa tegas menyatakan siap kalah, sementara dalam hatinya bergejolak penolakan kekalahan. Ini bisa dialami semua orang dengan aneka manifestasinya: mengkritik kejelekan pihak lain, menyalahkan panitia, menyesali kesalahan sendiri secara berlebihan, dan sebagainya. Orang tidak puas, tidak lapang dada, tak berjiwa besar.

Hari ini Yesus memberi pesan sederhana bagi pengikutnya untuk tidak membebani diri dengan aneka bekal hidup yang mungkin dianggap penting tetapi sebenarnya bukan yang utama. Mentalitas peziarah pencari Tuhan tak pernah klop dengan aneka beban dan justru menghayati hidup unencumbered by baggage. Yang disampaikan Yesus memang hal-hal yang fisik: gak usah bawa baju dua helai, emas perak, kasut atau tongkat. Akan tetapi, yang jauh lebih penting jelas mentalitas di baliknya.

Apakah mentalitas yang disodorkan Yesus itu? Mentalitas HIDUP MISKIN. Ini berbeda dari mentalitas pengemis. Saya pernah hidup mengemis selama sepuluh hari dengan berjalan kaki sejauh 400an kilometer, dan syukur saya menemukan beda antara mentalitas pengemis dan mentalitas hidup miskin. Tindakannya sama-sama meminta makan, meskipun jarak tempuhnya beda dari kebanyakan pengemis lainnya. Kerja keras saya tidak ditujukan untuk mendapatkan makanannya sendiri, melainkan berjalan kaki sejauh jarak lari marathon setiap hari (kurang lebih 10 jam).

Mentalitas hidup miskin bukanlah soal baju lusuh dan bau badan menyengat lantaran jarang mandi. Juga bukan pertama-tama bahwa orang tidak punya ini itu untuk kebutuhan hidupnya. Mentalitas hidup miskin ialah mentalitas untuk mengandalkan hidupnya pada Allah sendiri.

Dalam pribadi yang hidup miskin ini, tak ada kelekatan pada materi demi mengejar kepuasannya. Ia sudah merasa cukup dengan pemberian Tuhan dan melulu mengandalkan Tuhan. Ia tidak mengejar yang mewah-mewah, tidak mendambakan hidup superfluous. Bisa jadi ia punya mobil, rumah yang bagus, tetapi tak terlekat pada harta miliknya itu. Bahkan mungkin saja ia tidak pernah mengambil gaji atau pemberian negara lantaran ia sudah merasa berkecukupan dan ia bisa fokus pada pelayanan publik, tidak dibebani oleh ambisi atau persoalan pribadi.

Pada pribadi yang hidup miskin, tidak ada kamus aji mumpung: mumpung punya jabatan, mumpung masa jabatan belum berakhir, mumpung harga sedang murah, dan sebagainya. Orang yang hidup miskin sungguh tidak terbebani dengan kerisauan duniawi ini meskipun ia tetap terlibat dalam keprihatinan duniawi sehari-hari.

Bagaimana bisa begitu? Bacaan pertama menjadi salah satu landasannya: sejak kecil, sepanjang hidupnya, manusia senantiasa dalam genggaman kasih Allah yang dari ‘hati kecilnya’ tak pernah berniat menghanguskan manusia! Hanya kepada-Nyalah manusia pantas menyandarkan hidupnya, agamanya, bangsa dan negaranya.


KAMIS BIASA XIV A/2
10 Juli 2014

Hos 11,1.3-4.8-9
Mat 10,7-15

2 replies