Apa yang Terpenting?

Guru agama SMP/SLTP saya pernah melontarkan pertanyaan yang jawabannya gampang-gampang susah atau susah-susah gampang: lebih mudah mana untuk dekat dengan Tuhan, orang kaya atau orang miskin?

Ada yang dengan mantap menjawab orang miskin karena mereka lebih mudah menghayati kepasrahan kepada Tuhan. Akan tetapi, guru ini menunjukkan fakta bahwa tak sedikit orang miskin yang justru sulit pasrah kepada Tuhan: mereka mau memanipulasi kuasa Tuhan dengan mencari penghidupan dengan mencuri, merampok, bahkan membunuh. Itu jelas bukan wujud kepasrahan kepada Tuhan. Hmm… benar juga ya. Bagaimana jika dijawab orang kaya lebih mudah dekat dengan Tuhan karena ia memiliki keuntungan untuk bisa membaca Kitab Suci, belajar hal-hal rohani, dan sebagainya? Guru ini menunjukkan fakta bahwa koruptor itu malah bukan orang miskin! Wah…benar juga ya. Trus, jawabannya apa dong?

Bacaan-bacaan hari ini barangkali memberi terang untuk menanggapi pertanyaan seperti itu. Para rasul diutus dengan modal kuasa untuk menyembuhkan orang sakit dan mengusir setan. Mereka dilarang untuk membawa bekal makanan atau uang, bahkan baju cadangan dan tongkat. Pokoknya, mereka diutus dalam ‘kemiskinan’ dengan modal yang cukup. Tidak hanya itu, bahkan tidak dikatakan bahwa mereka harus memaksa orang lain supaya menerima pewartaan mereka: kalau mereka gak terima, lanjutkan perjalanan. Hidup ini jauh lebih besar daripada memaksa orang lain untuk berbuat ini atau itu seturut yang kamu gambarkan.

Benarlah kata-kata dalam Amsal: Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku.

Rupanya, yang terpenting bukan kesuksesan atau kegagalan, kekayaan atau kemiskinan, kesehatan atau sakit, nama baik atau celaan (bdk. azas dan dasar). Ini adalah soal perjalanan. Life is a journey. Perjalanan semakin nyaman jika orang tak terbebani dengan aneka sangu dan kekhawatiran tentang perjalanannya sendiri. Itulah kemiskinan di hadapan Tuhan, yang hanya dimungkinkan jika orang tetap memelihara relasi pribadi dengan Allah di atas segala jatuh bangun, sukses ancur, dan lain-lainnya.


RABU BIASA XXV A/2
24 September 2014

Ams 30,5-9
Luk 9,1-6

1 reply